[05] Masih Peduli

1.6K 109 23
                                    

Bagian Lima
•Masih Peduli•

"Apa namanya kalau benci tapi masih aja bisa peduli? Heran gue." - Tara Felicia.

"Gue bukannya takut kehilangan dia. Gue hanya takut lo kehilangan gue sebagai sumber bahagia lo :)." - Arsya of course.

"Gue masih peduli dengan lo. Apa itu salah? I wish I could ignore you like you ignore me. Bolehkan gue jadi jahat sementara? Capek rasanya asal lo tau. Ingin berhenti berharap tapi lo selalu memancing percikan." - Natchadiary.

Dasar gengsi memang dadar gulung ya~

Hehehe selamat datang lagi, selamat membaca ✨

— W E L C O M E —

MALAM, detik jarum jam terus saja merangkak naik. Dengan jarum panjang yang sudah menunjuk tepat pada angka sebelas malam. Arsya menatap ke atas tepat ke arah balkon kamarnya dengan tatapan ragunya.

Sengaja dia memindahkan tangga yang biasa Ia gunakan untuk memanjat ke lantai dua rumahnya dengan perlahan. Di pilihnya tembok samping yang biasanya selalu sepi, aman dari penjagaan untuk melaksanakan niatnya yang satu itu.

Perlahan dengan pasti Arsya lantas meniti satu persatu anak tangga itu dan tetap menjaga langkahnya agar tidak terdengar para penjaga yang terus saja berkeliling di sekitar rumahnya. Motor sportnya juga sudah aman dia titipkan di rumah Vella—sahabat masa kecilnya yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumahnya. Tepat di samping rumahnya bahkan.

Berhasil. Arsya lantas melangkahkan kakinya perlahan memanjat ke pagar pembatas balkon kamarnya. "Ssst..diam aja, please." Tanpa suara juga Arsya berkata pada Edgar, orang kepercayaan Ayahnya yang tengah berjaga di pintu balkonnya malam ini.

Edgar, laki-laki tegap berusia tiga puluh delapan tahun yang sangat dekat dengan Arsya itu hanya meringis pelan mengerti perintah tuan mudanya itu. Di angukan kepalanya pelan tanda mengerti dengan ucapan tanpa suara Arsya barusan.

"Oke." Cowok itu lantas mengangkat jempolnya ke udara dan melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan langkah tanpa suaranya.

Baru beberapa langkah masuk ke dalam kamarnya. Arsya lansung mematung di tempat, agak terkejut dengan pemandangan di depannya. Seorang laki-laki tampan dengan tubuh tegapnya yang di balut setelan jas rapi nampak duduk di kursi meja belajarnya.

"Masih ingat jalan pulang kamu?" Begitu suaranya. Terdengar tegas dan mengintimidasi. Suara yang sangat di hapal oleh Arsya dengan baik.

Baru saja Arsya akan membalas. Laki-laki itu nampak bangkit berdiri dari posisinya dan melangkah mendekat ke arah Arsya lengkap dengan tangannya yang Ia masukan kedalam saku celananya dan tatapan tajamnya yang menghunus tepat pada iris mata cokelat Arsya. "Begini cara kamu masuk ke dalam rumah? Mengendap-ngendap seperti maling. Apa kamu lupa ada pintu, Gregorius Arsya?"

"Maaf. Arsya salah."

Gregorius Kharel Adijaya. Pengusaha papan atas Indonesia yang mempunyai berbagai macam cabang dan koneksi di luar negeri bahkan luar benua Asia. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang merupakan Ayah dari seorang Arsya. "Mau sampai kapan kamu mengulangi kesalahan kamu? Belum bosan kamu selalu buat masalah?"

Arsya hanya terdiam menatap Ayahnya itu dengan tatapan datarnya. Muak, selalu saja emosinya tersulut ketika berhadapan dengan sang Ayah. "Masih perduli Anda dengan saya?" cowok itu lantas tertawa getir.

Detak memoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang