Nama besar dan kredibilitas Vardy Johan membuat Flora Stefany tidak jeli mengambil keputusannya. Ketika sang walikota muda itu menawarkan solusi terbaik untuk meningkatkan taraf hidup, Flora langsung menyambutnya bagai anugrah dari surga.
Baru pagi ini ketika ia datang lebih awal ke kantor barunya dan disambut oleh staf HRD yang memperkenalkan lingkungan kerja barunya sekaligus menjelaskan pekerjaannya, jantung Flora seakan enggan berdetak lagi. Ia baru mengetahui profil atasannya pagi ini.
"Pak Ray itu orangnya baik. Bahkan-" wanita berusia lewat tiga puluhan itu melirik Flora dari atas ke bawah, "sama yang seperti kamu ini dia akan sangat - sangat ramah." Asal tahu saja, pengucapan kata 'ramah' menggunakan nada bermakna bias. Flora mengangguk profesional, berusaha tidak mencari makna di balik kata 'ramah' selain yang sudah tertera di KBBI.
Tapi kemudian kecemasannya meningkat dan nyaris tak dapat disembunyikan. Bisakah ia mengundurkan diri bahkan sebelum ia bertemu dengan bosnya? Andai saja bisa.
Selama Elok menjelaskan, pikiran Flora berlarian seputar: ijin sakit, mundur, atau kabur. Selagi hari masih pagi, selagi mereka belum bertemu. Dia bisa memohon maaf pada Vardy bahkan tergoda menjelaskan alasan yang sebenarnya. Apakah dia mampu, sementara di dunianya bukan hanya ada dia seorang. Ia membutuhkan pekerjaan ini untuk sekarang.
Ketika Elok meremas pelan lengan atasnya, Flora pun melupakan rencana pengecutnya. "Bos kita ini godaan duniawi. Dia cakep banget dan masih single, tapi kalau tidak ingin bernasib seperti orang sebelum kamu, kamu harus bisa menjaga batasan profesional. Pak walikota nggak main - main sama adiknya, apalagi sama orang lain macam kita."
Elok meliriknya sinis, "denger – denger kamu agen gandanya Pak wali ya? Dibayar berapa?"
Flora menggeleng malu – malu, "nggak, Mba. Saya sekretaris saja."
Elok menoleh ke arah meja darurat di luar pintu, ia menuding tempat kerja Flora, "untuk sementara meja kamu di situ, tapi kalau bos minta kamu pindah meja... ya itu artinya pindah."
Mengikuti arah pandang Elok, Flora berpikir meja itu disediakan ala kadarnya. "Memangnya, orang sebelum saya mejanya di mana?"
Elok melirik skeptis sebelum akhirnya berbisik pelan, "di dalam ruangan bos-" lalu Elok menambahkan dengan lebih rahasia lagi, "gosipnya, dia ada main sama bos."
Flora menelan ludah. Hal pertama yang ia rasakan adalah nyeri tapi kemudian ia tidak peduli. "Pasti cantik, jadi menarik buat Si Bos."
"Nggak cantik, ah! Dia genit dengan sikap sok polosnya," lalu Elok meliriknya dengan sinis, "kalau kamu? Bener – bener polos, kan?"
Flora meringis, "saya udah nggak polos, Mba."
Elok melengos pergi, "ya coba aja kedipin Si Bos."
Sudah lama Ezra melanjutkan hidup sebagaimana seorang Ezra Axel. Sedangkan dirinya... yah, Flora juga sudah melanjutkan hidup sejak hari itu walau segalanya berubah menggila. Tak hentinya ia bersyukur memiliki kakak seperti Davon yang mampu mengatasi kekacauannya.
Flora sangat menghargai SK Walikota sebagai tenaga honorer yang Davon dapatkan untuknya, akan tetapi ia tidak akan mampu hidup mandiri dengan penghasilan seperti itu, sampai kapan pula ia harus membebani rumah tangga kakaknya?
Mungkin dengan mengambil kesempatan ini sama saja dengan mengkhianati pengorbanan Davon tapi setidaknya ia tidak lagi menjadi tanggungan hidup siapapun, sungguh, dia bukan lagi remaja, dia wanita dewasa yang memiliki tanggung jawab.
Tekadnya masih bulat sempurna ketika ia merapikan ruangan pria itu, menyediakan kopi karena sebentar lagi Ezra akan tiba, serta mengambil kiriman setelan kerja bosnya dari binatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Work from Hell
RomanceGenre cerita ini contemporary romance & adult 21+ Pasti ada alasan mengapa seorang laki - laki menjadi playboy. Apakah gengsi, patah hati, atau sekedar pembuktian. Ezra menganggap dirinya adalah pria 'ramah', bukan playboy. Tapi tidak begitu di mata...