Rumah Ezra cukup besar dan luas, tidak cocok disebut sebagai rumah seorang bujangan. Flora sempat melirik taman yang terawat ketika menuntun pria itu masuk ke dalam berbekal kunci yang ia temukan di mobil.
Walau Ezra masih bisa berjalan Flora tetap merasa harus menuntunnya karena pria itu tersandung berulangkali tapi malah menyalahkan undakan, pot bunga, serta sofa yang sangat ingin ia ajak berkelahi.
Setelah mendudukan pria itu di sofa, Flora berlutut di kaki Ezra untuk melepas sepatu dan kaos kakinya. Tapi kemudian gumaman Ezra membuatnya mematung.
"Kok kita di sini?"
Flora mendongak padanya dengan mata melebar sempurna. Apa mereka sudah masuk ke rumah yang salah? Rumah ini memang tidak terlihat seperti milik Ezra. Terlalu seperti rumah keluarga.
"Ray, serius. Ini rumah siapa?"
Ezra merasakan tenggorokannya sakit dan meminta minum, setelah itu ia menjawab, "rumahku. Tapi aku tinggal di apartemen."
"Kamu mau kita balik ke apartemen?"
Ezra menggeleng tanda menyerah, ia bersandar seakan leher tidak kuat menopang kepalanya yang berat, lagi pula matanya tak sanggup terbuka lebih lama, "nggak usah. Di sini lebih leluasa. Rumahnya jadi nyaman karena ada kamu."
"Hm?" Flora mengerjap bingung, ia tidak yakin dengan apa yang ia dengar, "apa, Ray?"
"..." tapi Ezra sudah tidur.
Pagi berikutnya Ezra dikejutkan oleh kehadiran Flora di rumah pribadinya. Rumah yang ia bangun hanya karena sisi idealisnya sebagai pria dewasa. Prakteknya, ia tetap tinggal di apartemen yang lebih praktis.
"Kamu baru datang, Flo?"
Flora tak sedikitpun menatap wajahnya ketika berjalan langsung ke arah dapur sambil membawa bungkusan makanan.
Dengan mata memicing dan rambut berantakan ia memperhatikan pakaian Flora. Ia mengenali kaos bertuliskan "I'm not the law, but I represent justice so far as my feeble powers go" sebuah kutipan dari novel kesukaannya bertajuk The Advanture of The Three Gables dengan tokoh utama Sherlock Holmes yang menjadi tokoh fiksi favoritnya.
Tentu saja kaos itu miliknya, salah satu kaos favoritnya yang dikirim oleh anggota klub pecinta Sir Arthur Conan Doyle dari negara asalnya, Inggris, yang belum pernah ia kenakan karena ukurannya terlalu kecil.
Tapi kemudian ia menyadari wanita itu masih mengenakan rok span kemarin, ia menyimpulkan bahwa Flora tidak pulang.
"Kamu nggak pulang?"
Flora menyibukkan diri dengan menyiapkan bubur. "Kamu demam terus muntah - muntah."
"Terus?" Ezra duduk di depan meja, "kamu tidur di mana?"
"Di sofa," jawabnya, masih belum berani menatap langsung, "nih, dimakan buburnya. Terus kamu minum obat."
Flora berjalan mengitari meja menuju ruang tengah dan mengambil tasnya, "aku mau pulang dulu, terus ke kantor. Setelah itu aku balik ke sini sebelum makan siang. Tapi kalau kamu ngerasa nggak enak badan sebelum itu, kamu telepon aku."
Sebelum Flora berhasil kabur, Ezra menyerukan pertanyaan yang buat ia berkeringat dingin.
"Baju kamu kenapa?"
Ketika berbalik, Ezra menyadari wajah Flora yang tanpa riasan, wajahnya persis seperti dulu saat mereka bersama hanya saja yang ini lebih dewasa.
Ia curiga Flora kesulitan menjawab lalu menebak, "Aku muntahin ya?"
"Iya. Ya udah, aku balik dulu."
Ezra mengantarnya sampai di pintu lalu bergumam, "hati - hati!" sebelum menutup pintu di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Work from Hell
RomansGenre cerita ini contemporary romance & adult 21+ Pasti ada alasan mengapa seorang laki - laki menjadi playboy. Apakah gengsi, patah hati, atau sekedar pembuktian. Ezra menganggap dirinya adalah pria 'ramah', bukan playboy. Tapi tidak begitu di mata...