Di kantor, siksaan itu semakin parah. Perlahan, saya menoleh ke kiri, mencari sosok yang dulu setia menemani. Wanita sipit berparas sendu itu tidak ada. Kursi Elvira kosong, kenapa harus mencari? Elvira sudah cuti sejak seminggu yang lalu, dia pasti dipingit, tidak boleh ke mana-mana, cukup menjalankan ritual supaya tampil cantik saat pesta pernikahannya nanti.
Namun entah mengapa kepala ini lebih memilih kompak dengan hati? Mata ini mengukur setiap inci meja Elvira, mencari setitik asa yang mungkin ditinggalkan wanita itu. Lagi-lagi perih kembali mengiris saat menyadari telah berada di ujung kemustahilan. Tak ada yang tersisa, hanya berbagai tumpukan kertas dan beberapa kotak hadiah yang tersusun di atas meja. Bahkan foto diri ini bersamanya telah berganti dengan sosok lain.
Saya pun mengalihkan pandangan menembus jauh jendela di samping meja Elvira. Tanpa sadar kaki ini beranjak bersentuhan dengan dinding kacanya. Selat Makassar tampak sejajar dengan kaki nirwana di ufuk Barat. Di atasnya kapal-kapal kargo diam mengapung menanti pelabuhan memberi waktu berlabuh. Ada beberapa perahu nelayan melintas, mereka tahu saat hujan turun, feeding frenzy menggila, hanya umpan yang terlihat ikan.
Ah, Elvira benar-benar menyukai laut, semua yang ingin diraihnya selalu berhubungan dengan tubuh air asin itu. Bahkan calon suaminya, saya dengar-dengar adalah salah satu pengusaha yang memiliki beberapa kapal tanker. Tangan saya terangkat menempel ke kotak kaca yang mengembun dibelai hujan sore ini. Deru suaranya berdesir pelan sampai ke dalam ruangan bagai alunan simfoni Tuhan.
Saya harus melupakan dia.
"Kau datang, 'kan?" Satu tepukan pelan mendarat di bahu. Saya menoleh dan tersenyum memandang pria yang berdiri di samping meja. Satu lengannya menumpu pada dinding kubikel yang tingginya hanya seperut. Satunya lagi memegang mug berisi kopi hitam yang masih mengepul. Irfan terlihat canggung, pria itu tampak meringis salah tingkah saat menatap kartu jingga yang saya pegang.
Menyadari kekikukannya, membuat senyuman ini mengembang lantas mengangguk, "Tentu saja, dia temanta (teman kita) juga."
Tanpa tahu apa yang sejak tadi menggantung di kepala ini, Irfan mengembuskan napas lega, dia menegakkan badannya, "Baguslah, saya kira nda datang maki. Semangat, Ces (Bro)!".
Bibir ini kembali tersenyum, "Saya baik-baik saja, Ces. Tenang saja."
Pria itu beranjak berlalu, tetapi kembali berbalik lantas mengepalkan tangannya mengajak tos high five dan tentunya saya sambut dengan cepat.
Dasar bodoh! Bisa-bisanya saya tetap berlaku seolah tidak terjadi apa-apa. Berlagak sok kuat padahal sebenarnya tengah hancur berkeping-keping. Saya tidak ingin semua orang tahu jika di dasar pikiran nan tandus, saya sedang memunguti memori putih di balik pekatnya kepedihan. Mencoba merangkainya, tetapi terpecah dan kembali beterbangan. Hingga yang tersisa hanyalah hati yang terkoyak dan pikiran tersayat.
Irfan tidak perlu tahu seberapa pedih yang saya rasakan, saya tidak ingin siapa pun tahu dan mengasihani. Toh, sejak awal saya mengabaikan semua yang mereka ingatkan untuk tidak melompat terlampau tinggi. Karena saat jatuh, rasanya akan sakit sekali. Yang harus saya lakukan sekarang hanyalah meyakinkan diri, memberi sugesti untuk tidak tampak terpuruk saat berada di sana. Jujur, sampai saat ini, saya masih tidak tahu apakah mampu untuk menghadiri resepsi Elvira? Memandangi wajahnya penuh rona bahagia saat dia bersanding dengan pria lain yang jelas dan nyata itu ... bukan saya.
Sampai detik ini saya tak habis pikir, saat menyadari driver Grabcar telah menurunkan saya di seberang jalan UpperHills. Saya sengaja memilih angkutan daring demi menghindari terkurung di salah satu spot termacet di Makassar ini. Apalagi sekarang bertepatan dengan hari kasih sayang, jalanan padat merayap di sepanjang Tanjung Bunga dan Pantai Losari. Ah, seminggu ini saya memang jarang berkendara, meskipun tampak normal tetapi tidak dengan jiwa ini yang masih terus saja berkelana ke masa-masa bersama Elvira.
Namun, Valentine’s Day tahun ini terasa panas, semilir udara hangat menusuk menerpa kulit. Langit malam dipayungi awan gelap tanpa bintang biasanya meramalkan hujan itu tampaknya masih enggan untuk menangis, sepertinya ingin menikmati loncatan-loncatan pijar api berbentuk hati dan air mancur dari berbagai arah.
"Appanini' bosi, nampana bambang (Ada ritual pawang hujan, makanya panas)," celetuk seorang lelaki dengan pakaian adat Makassar di samping saya. Orang itu sama seperti saya, lebih memilih menggunakan transportasi daring dari pada berkutat dengan kemacetan.
Ritual itu sudah pernah saya dengar dari Elvira kala mengunjungi resepsi pernikahan kerabatnya. Udaranya persis segerah sekarang. Hanya senyum tipis tercetak di bibir ini saat lelaki itu melangkah duluan memasuki area gedung.
Kepala ini menengadah memandangi bangunan dengan arsitektur Renaisans itu, pilar-pilarnya berdiri kokoh nan angkuh seakan menunjukkan kelasnya ditambah dengan tiga kubah adaptasi dari Kloster Irsee, salah satu hotel di Jerman yang dibangun di abad ke-18.
Saat melewati pintu, ruangan sudah dipadati oleh tamu. Lampu bulat menjuntai dari plafon yang dipenuhi bunga wisteria bernuansa putih. Pihak keluarga mengenakan sarimbit senada dengan mempelai, sibuk berswafoto dengan latar foto mempelai yang terpajang di dinding. Saya terdiam sejenak, terhenti pada sebuah senyum semringah dari mempelai wanita. Hati ini kembali perih bak teriris sembilu. Elvira begitu memesona dengan wrap dress yang belahan dadanya ... Shit! Kepala ini sontak menunduk. Itu sangat rendah. Untungnya posisi duduk di sofa membuat lekuk pinggul dan kaki jenjangnya tertutup aplikasi tumpukan ruffle rok berbahan transparannya. Sementara mempelai pria bersandar di pegangan kursi dengan tangan yang dikalungkan di bahu Elvira. Cih! Saya merasa, tangan itu sengaja mendekat ke dada wanita.
"Cantik ya?"
Saya sontak berbalik, mendapati cengiran lebar di wajah Irfan. "Ayo, kita masuk. Lebih baik lihat orangnya langsung, daripada fotoji (foto saja)," dia berbisik lalu menarik tangan saya, memaksa langkah ini mengikutinya.
Konsep mewah dan glamor semakin terasa saat memasuki area hall, cahaya lampu warna ungu menyorot redup memberi kesan temaram dan syahdu. Lampu laser berpola bunga menerpa dinding silih berganti. Penerangan maksimal hanya di pelaminan dan panggung band pengisi acara. Lagu daerah Bugis 'Alosi Ri Polo Dua' mengalun merdu saat saya dan Irfan tengah menyalami mempelai.
"Makasih, Ruly."
Elvira menjabat tangan ini dengan penuh binar haru, sedangkan suaminya hanya tersenyum lebar, seakan memproklamirkan kepemilikan atas si wanita melalui rengkuhan di pinggangnya. Huh! Bagian mananya yang mirip pinang dibelah dua? Saya menghela napas panjang mengingat arti dari judul lagu yang dilantunkan sang penyanyi.
Dengan gontai langkah ini mengelilingi kue berbentuk kastil gotik berukuran raksasa di depan pelaminan, pasti mahal sekali. Sajian kuliner berjejer rapi di setiap penjuru ruangan menggugah selera para tamu. Western, Eastern dan lokal. Bahkan sebagian besar para tamu tiada henti mendatangi setiap stan, mungkin rasanya kurang pas sampai harus dicicipi berulang-kali? Saya tertawa dalam hati tetapi perih tetap bercokol menghinggapi hingga saya memilih ke area mini bar di tengah ruangan. Stool-nya yang tinggi memudahkan mata ini menjelajah ke pelaminan. Rasanya bukan kebetulan, lagu 'Sajang Rennu' yang dilantunkan sang penyanyi seakan menyinggung. Dia tahu sekali, kalau wanita yang saya cinta kini tengah bersanding mesra.
Keluarga mempelai pasti memiliki koneksi yang luar biasa luas. Sangat jarang bahkan tak ada yang berani menyajikan wine di pesta pernikahan, atau mungkin karena sebagian tamunya adalah ekspatriat? Kolega suami Elvira kebanyakan warga negara asing. Entah sudah menenggak berapa gelas wine, pening menyergap saat langkah ini terseok-seok ke belakang pelaminan dan terbaring di dipan. Ruangan yang semula gemerlap berubah menjadi gelap, berputar dengan saya sebagai sumbunya.
💕💕💕Ruly mabok terus pingsan. Gimana kelanjutannya? Tunggu Minggu depan!
Komen dan vote yang banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...