2b - AURORA

685 123 46
                                    


Klien kami memilih hari Jumat yang bertepatan dengan Hari Kasih Sayang untuk menikah. Resepsi akan dilangsungkan pukul tujuh malam, tetapi sejak siang aku sudah ada di base camp.

“Apa kabar, Ora?!” Rizky yang baru datang berusaha membuatku kaget.
“Sehat?” Sebetulnya drummer satu ini bolehlah dijadikan pacar. Sorot matanya bikin adem persis ubin masjid. Sayang suaranya juga mirip toa masjid. 

“Ngagetin deh, biasa aja kali,” jawabku.

“Jangan pingsan lagi, saya capek mengangkat kamu, berat,” ujar Rizky. Seenaknya dia bilang aku berat. Jangankan aku yang tinggi seratus enam puluh senti dan berat lima puluh kilo, galon Aqua pun dia bilang berat, dasar manja.

“Kalian tahu, mempelai laki-lakinya pengusaha kaya,” Ari mulai aksi gibah.

Radit mengangguk. “Mempelai pria namanya Fahri Syahrul, pengusaha muda di bidang kapal tanker. Ayahnya teman ayah saya. Selain punya perkebunan cengkeh dan cokelat yang diekspor sampai Eropa, Keluarga Syahrul memiliki usaha tekstil di Jawa.”

Wadidaw, horang kayah.

“Kalau Elvira Yahya?” Aku membaca nama yang tercetak di undangan.

“Saya tidak kenal,” sahut Radit.

“Jadi, kapan kita berangkat?” tanya Tiara, kebelet melihat seperti apa klien kami.

Bass, keyboard, drum, dan saxophone sudah masuk ke minibus. Tiga jam sebelum acara, kami berangkat melintasi kawasan tempat pasangan muda-mudi merayakan Valentine’s Day. Lampu berwarna-warni cantik menghiasi kafe-kafe. Papan bertuliskan diskon merayu agar orang yang membacanya singgah.

Waktu bangunan Upper Hills yang mewah ala kastil film Disney terlihat, dadaku dag dig dug. Karangan bunga ucapan selamat dari perusahaan terkenal berjajar sejak dari gerbang sampai undakan lobi. Beberapa dikirim oleh pejabat setempat.

Radit menelepon seseorang, mengabari kedatangan kami. Dalam sepuluh menit, seorang laki-laki tegap berambut cepak ala paspampres berjalan tegap mendekat. Rompi peraknya berkilauan.

“Wonder Band?” tanyanya.

“Iya, Bang,” jawab Radit seperti biasa, sedangkan kami hanya mengangguk.

“Perkenalkan, saya Adnan, panitia.” Dia menunjuk name tag di dada kirinya. “Ikut saya.”

Hall tempat resepsi pernikahan akan digelar sudah didekorasi. Lampu gantung di plafon serasi disandingan dengan juntaian bunga Wisteria putih. Pelaminannya bagai singgasana yang disepuh emas. Dua orang laki-laki berkomunikasi soal cahaya lampu. Salah satu dari mereka kemudian menyalakannya. Segera saja warna ungu menyorot redup, tetapi anehnya malah menimbulkan kesan mahal bukannya mesum. Mereka berteriak pada seorang laki-laki di seberang. Permainan lampu laser berpola bunga dimulai, mengagumkan siapa saja yang melihat.

Tiara menyenggol lenganku. “Kita kapan ya?” tanyanya.

“Kapan apa?”

“Kawin.”

“Aku nggak mau kawin sama kamu,” tolakku bergidik.

Matemija!” ujar Tiara kaget, “maksud saya, ko kawin sama suamimu, saya kawin sama suami saya.”

“Nikah dulu dah, baru kawin. Masa kamu nggak tau bedanya?”

“Nda. Apa dong?” Tiara mulai ketularan logat khas Jakarta. Padahal dulu dia yang paling antipati kalau aku menolak memakai dialek Makassar. Sejak menginjakkan kaki di sini, aku sudah biasa di-bully. Makanya kubiarkan saja teman-temanku mengejek sesuka hati. Akhirnya malah mereka yang menyesuaikan dengan logatku.

“Nikah dilihatin orang, kawin malu kalau dilihat orang,” jawabku.

Kening Tiara berkerut tanda sedang berpikir. Tiara mencebik saat memahami ucapanku. Dia balik badan, bergabung dengan para cowok, meninggalkanku yang terkekeh.

SAVIORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang