Semalaman saya tidak mampu memejamkan mata. Di kantor pun tidak konsentrasi kerja. Rasa bersalah ini kepada Ora mulai mengalahkan kesedihan yang saya rasakan karena pernikahan Elvira. Bayangan wanita itu terus saja muncul di kepala ini. Dan sialnya lagi, saya membayangkannya tanpa sehelai benang pun!
Apa yang tengah dilakukan wanita itu sekarang? Saya benar-benar keterlaluan, tidak mampu mengontrol sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh dua orang yang tidak memiliki hubungan yang sah secara agama dan negara. Sampai saat ini saya masih bisa merasakan saat-saat kami menyatu. Sesuatu di balik celana tiba-tiba mengeras hanya karena memikirkannya saja.
Sial!
Ah, andai saja saya tidak meminum minuman laknat itu, saya tidak akan mencicipi perbuatan terlarang itu. Bagaimana menjelaskannya ke Ayah dan Ibu kalau mereka sampai tahu. Mereka pasti akan sangat terluka.
"Rul, ayo ke kantin." Irfan tiba-tiba muncul di samping kubikel saya. Semua yang saya pikirkan mengabur seketika, berganti dengan sosok Irfan yang selalu tampil rapi dan senyum lebar di wajahnya.
"Maaf, Fan. Saya ada janji, mau ke Tupai," tolak saya dengan halus.
"Mau bikin apa di sana?" Irfan keheranan melihat saya merapikan meja dari kertas-kertas berisi instruksi pengiriman barang yang belum sempat saya selesaikan. "Tapi balik, kan?" tanyanya lagi.
"Mau ketemu teman di studio musik Hope. Saya balik, tolong titip pesan buat Pak Markus, siapa tahu saya kena macet."
"Stu–dio mu–sik? Sejak kapan ko (kamu) suka ...."
Saya berlalu dengan cepat, mengabaikan pertanyaan Irfan. Ada baiknya, saya menemui Ora, setidaknya memastikan wanita itu baik-baik saja. Tidak peduli tampang menyelidik Irfan, saya hanya ingin bertemu Ora secepatnya.
Sebelum mengunjungi Ora, ada baiknya membawa oleh-oleh. Sekarang jam makan siang. Menu sop konro yang langsung terbayang membuat saya melajukan mobil ke kedai langganan. Saya tidak tahu berapa jumlah teman band-nya. Namun saya pikir tujuh porsi cukup untuk dimakan beramai-ramai.
Setiba di studio, saya memarkirkan kendaraan tidak jauh dari Hope Music Studio. Bukan karena saya tidak ingin terlihat mengunjungi tempat ini, tetapi tak ada lagi space kosong. Saya baru memperhatikannya dengan baik. Sekilas dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tinggal biasa. Tidak semegah studio musik milik Ahmad Dhani pentolan Dewa yang berlantai empat. Namun, melihat kendaraan yang parkir cukup banyak, saya rasa Hope punya pasarnya sendiri di Makassar.
Pintu samping sekaligus pintu masuk studio dijejali dengan orang-orang yang sedang antre menunggu giliran untuk berlatih. Saya pun masuk melalui pintu utama yang daun gandanya terbuka. Ada banyak suara yang terdengar tetapi tidak saya mengerti. Sepertinya mereka sedang membahas rencana latihan dan konsep penampilannya.
"Ha-ha-ha...."
Ah, dia ada. Ora. Suara tawanya yang renyah masih membayang di kepala. Bungkusan plastik berisi tujuh kotak sop konro yang saya beli tergenggam erat. Ada rasa tersendiri saat mendengar derai tawanya. Perasaan ini menghangat.
"Hai, siang."
Kelima orang yang tengah asyik berbincang serentak menoleh. Ora mungkin tak menyangka, saya ada di sini. Kedua tangannya terangkat menutup mulut.
"Ruly?" Ora bangkit dari duduknya, tergesa ke arah saya. "Ada apa?" bisiknya pelan seakan tak ingin didengar oleh keempat temannya.
"Saya ... hanya ...." Mendapat tatapan dari empat pasang mata di sana membuat semua kata yang ingin terucap hilang. Salah tingkah. Ora menyadari kekikukan ini. Dia langsung menggandeng lengan saya. Mendekat ke temannya.
"Gaes, ini Ruly yang—"
"Mabuk kemarin?" Laki-laki berkacamata memotong ucapan Ora dengan sinis, tatapannya segalak macan. Namun, Ora seakan tidak ada masalah. Dia menuntun saya duduk di kursi. Bungkusan yang sedari tadi di tangan, saya letakkan di atas meja.
"Rul, ini Radit." Ora menunjuk laki-laki berkacamata, lelaki itu mengangguk lantas memalingkan wajahnya.
"Ini Rizky." Ora lalu menunjuk laki-laki yang rambutnya gondrong, sama halnya dengan Radit, dia pun tanpa ekspresi.
"Itu Ari." Laki-laki dengan potongan ala boy band Korea berdiri mengulurkan tangan.
"Dan ini Tiara." Satu-satunya wanita selain Ora di sini. Berbeda dengan Ora yang selalu heboh. Wanita yang bernama Tiara ini lebih banyak diam, dia hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Saya Ruly, maaf sudah bikin kalian repot. Terima kasih sudah menolong saya." Saya meringis sambil menangkupkan tangan. "Ini, saya bawa sop konro, kalian pasti belum ada yang makan, 'kan?" Saya mengulurkan bungkusan pada Ora.
"Wah, asyik. Ayo, Dit. Kita makan di dapur saja." Laki-laki yang bernama Ari tampak antusias. Dia menyambar bungkusan di tangan Ora, memaksa ketiga temannya meninggalkan kami.
"Ora, sebentar saya bawakan bagianmu.” Tiara langsung mengambil bungkusan plastik dari tangan Ari.
Sepeninggal teman-temannya, Ora pun duduk di samping saya. Dia sedikit pucat, sakit kah?
"Kamu sakit?" tanya saya setengah berbisik, menatapnya dengan khawatir. Dia menggeleng, memaksakan senyum di wajahnya yang imut.
"Aku baik-baik saja."
"Soal kemarin, saya ... minta maaf." Saya menundukkan pandangan ke jari jemari yang saling bertaut. "Seharusnya saya ...."
"Ora, Ruly, bagian kalian." Tiara datang dengan dua mangkuk yang isinya masih mengepul, menginterupsi rasa bersalah ini. Wanita itu meletakkannya di meja lalu kemudian kembali ke dapur.
Saya menyerahkan satu mangkuk pada Ora, dia tampak ogah-ogahan menerima. Dia menyesap kuahnya sedikit, lalu menyendok nasi. Padahal sop konro ini terkenal paling enak. Berbanding terbalik dengan Ora, isi mangkuk saya cepat tandas. Sop konro adalah masakan kesukaan saya, bahkan sebelum saya resmi tinggal di Makassar.
"Ra, saya boleh minta nomor handphone-mu?" Saya menyerahkan ponsel padanya. Dia meletakkan mangkuk yang sepertinya belum disentuh sama sekali lalu kemudian mengambil ponsel yang saya ulurkan. Setelah mengetikkan nomornya, dia menyerahkan kembali benda itu.
"Mana ponselmu?" Saya menadahkan tangan padanya, dia merogoh sakunya lalu menyerahkan ponsel. Ora lebih diam hari ini, sungguh berbeda dengan malam itu. Sekarang, wajahnya kuyu dengan butiran keringat meluncur di garis pipinya yang mulus.
"Kamu pucat sekali, Ra. Sebaiknya makanannya kamu habisin." Saya berusaha membujuknya saat menyerahkan kembali ponsel miliknya.
"Saya nggak selera," tolaknya seraya menggelengkan kepala. Dia mengutak-atik ponsel, tiba-tiba memotret wajah ini dan dia pasangkan di profil Whatsapp. Dia menyeringai lebar memperlihatkan hasil tangkapan kameranya. “Oh, jadi namamu Ruly Savian,” ujarnya.
Saya tertawa melihat tingkahnya. Ini pertama kalinya sejak saya selalu dirundung kelesah setelah berpisah dari Elvira. Saya kembali menyerahkan mangkuk berisi sop konro yang belum tersentuh. Dia menggeleng sambil menutup mulut.
"Saya nggak mau, Rul."
"Tapi biar bagaimanapun, kamu harus makan. Nanti kamu benar-benar sakit, saya makin merasa bersalah, Ra." Saya putus asa membujuknya, dia jauh lebih keras kepala dari yang saya bayangkan. "Atau kamu ingin makan yang lain? Saya belikan."
Mata Ora berbinar seperti orang yang memenangkan undian. Dia merapatkan tubuhnya di samping saya lantas berbisik. "Kalau kamu ingin menebus rasa bersalahmu, belikan aku Pizza La Piccola."
"Oke." Saya menyanggupinya.
“Yang nggak pakai daging,” tambahnya.
Makanan cepat saji yang dia minta segera saya orderkan lewat aplikasi daring. Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, pesanan Ora muncul.
Ora senang bukan kepalang, wanita itu bertepuk tangan kegirangan seperti anak kecil yang dibelikan mainan. Entah sadar atau tidak, dia tiba-tiba merangkul dengan erat, sentuhannya membuat tubuh ini sontak meremang. Saya kembali speechless dibuatnya. Mematung seperti arca, hilang semua persediaan kata. Membeku di ujung lidah.
"Ra, saya balik ke kantor dulu, ya. Nanti saya kabari lagi." Saya pamit tanpa menoleh, tanpa meminta izin ke teman-temannya.
“Sebentar,” Ora mencengkeram pergelangan tangan ini. Dia memberi tatapan menggoda, lantas berbisik. “Kamu yakin nggak mau kuajari?”
Tangannya meraba area terlarang ini. Saya panik.
“Sa-saya pamit.”
Ora tersenyum. Wajahnya yang pucat sedikit cerah. “Kamu ke sini hanya mau mengantar sop konro, bukan yang lain?” bisiknya sensual.
Sial, sial, sial! Dalam hati saya mengumpat kesal.
“Kamu sepertinya sakit. Istirahatlah,” balas saya setelah berhasil mengumpulkan kata-kata. Ora sukses membuat sesuatu yang ada di balik pantalon ... menegang.
***Duh, ada yang tegang aja nih.
Yang mau baca cepat ke Karyakarsa belladonnatossici ya, Sexy Readers.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...