Kenapa aku mau bercinta dengan pria mabuk payah yang baru kukenal? Yah, perempuan kan punya hasrat juga. Sepuluh tahun lebih aku menerima jatah dari pacar yang berganti-ganti. Pengalaman pertamaku dimulai bersama Arya, bassist SMA Negeri tetangga yang kutemui saat pensi. Hubungan kami berlangsung seumur jagung. Arya bukan pacar perhatian, tetapi cukup memuaskan untuk ukuran anak SMA. Caranya mengecup setiap senti kulitku, mempermainkan bagian-bagian sensitifku, membisikkan kata manis, membisikkan kata cinta meskipun omong kosong belaka, membuatku lupa daratan.
Arya sanggup meyakinkan seorang Aurora Nayara melepas status perawan dan membuatku mencandu. Lepas dari Arya, belasan laki-laki memuaskan kebutuhan biologisku. Lebih tepatnya simbiosis mutualisme. Anak SMA, teman-temanku itu tak sealim penampakan luar. Kenapa juga aku menceritakan Arya dan mantan-mantanku? Kalau saja laki-laki dewasa mabuk ini hebat di ranjang, upsss… Maksudku di atas sofa dan mampu memuaskan roh jalang kelaparan yang sudah tidak melakukan ‘itu’ selama setahun, aku tidak akan sejengkel ini.
Bercinta dengan laki-laki mabuk entah siapa namanya ini, tidak ada enaknya. Sudah berbau tak sedap, menyebut nama orang lain, setelah puas langsung tidur pula. Salah satu mantanku pernah mengajakku bercinta dalam keadaan dikuasai alkohol. Permainannya jelek, hanya kepercayaan dirinya saja meningkat. Menyesal pun tak berguna.
Bagusnya, laki-laki semalam yang kucurigai adalah mantan Elvira ini tak sadar saat aku mendorongnya jatuh. Bukannya kejam, sofa hanya muat ditiduri satu orang. Dia tak butuh tempat empuk untuk tidur. Aku lah yang lebih perlu.
Mataku terbuka ketika sofa terasa diduduki seseorang. Tubuhku telah diselubungi jas hitam. Baik juga dia padahal sudah kubuat tidur di lantai.
"Apa yang kita lakukan?" tanyanya pelan begitu aku duduk, masih mengumpulkan nyawa.
Pusat tubuhku masih terasa aneh setelah setahun tak melakukan hubungan intim dengan laki-laki.
"Sebentar, aku lupa nama kamu," kataku sambil menguap. Jas hitam itu melorot waktu aku merenggangkan tubuh.
Mata si laki-laki melotot seakan mau loncat dari rongganya saat dua asetku terpampang sempurna, buru-buru dia menaikkan jasnya menutupinya.
"Ruly, nama saya Ruly. Dan kamu?"
"Aurora."
"Aurora....” Ruly terdiam sejenak, terlihat agak ragu, “apakah kita sudah..."
Aku mengangguk. "Ya, kita sudah melakukannya."
Mata Ruly membelalak lagi, terlihat syok. Namun dia kembali menguasai diri.
"Bagaimana semuanya terjadi? Bagaimana saya bisa di sini?"
"Hmmm...," aku menggumam, bangkit dari sofa menanggalkan jas hitam itu, membiarkan Ruly melihatku tanpa benang. Ngeces saja sekalian sana, toh semalaman sudah melihat semuanya bahkan meletakkan tangannya di mana-mana.
Ruly menunduk, menolak menatapku yang berjalan menuju kulkas.
"Mau minum apa, Ruly? Di dalam hanya ada soda dan jus. Mau kubuatkan kopi?" tanyaku sambil meraih sekotak jus jeruk.
"Tolong jelaskan saja," jawab Ruly canggung.
Aku menusukkan sedotan ke kotak kemasan jus jeruk, mengisapnya sembari berjalan lambat ke arah Ruly, sengaja demi menyiksanya. Sudahlah, berhenti berpura-pura. Dia pikir aku tak melihat matanya yang berusaha keras menghindari menatap keindahan ciptaan Tuhan ini? Kucing kok mau menolak ikan salmon?
Terlintas pikiran iseng. Aku menjatuhkan diri ke pangkuannya. "Minum," kataku menyodorkan kotak jus jeruk ke depan hidungnya.
Ruly menggeleng. Tangannya sama sekali menolak menyentuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...