Avanza perak yang saya tumpangi berhenti di depan bangunan dua lantai dicat hijau. Hunian minimalis yang saya tinggali bertiga dengan Ayah dan Ibu sejak memutuskan untuk kembali ke Makassar. Rumah yang dibeli Ayah saat tabungan pensiunnya cair dari PT Taspen. Ayah ingin menua dan berpulang di tanah kelahiran dan syukurnya Ibu yang asli Semarang bersedia ikut tanpa syarat.
Kisah cinta yang indah, berbanding terbalik dengan saya. Mereka saling menerima kekurangan masing-masing. Saling dukung satu sama lain. Ayah yang tidak suka berkebun menyiapkan taman kecil untuk Ibu merawat tanaman-tanamannya. Sedangkan Ibu seakan tidak ada masalah saat Ayah memutuskan kembali ke Makassar.
Keputusan Ayah yang kemudian membawa saya bertemu dengan Elvira. Ah, andai saja ....
"Bang, alamatnya benarji, ka?"
"Benar lah, saya belum pikun, enggak ingat alamat sendiri." Pertanyaan seseorang mengembalikan saya dari lamunan dan nostalgia. Mata ini mendelik tajam ke driver Grab car yang saya tumpangi ini, dia sukses membuat mood ini makin hancur.
"Makasih, Bang. Bayarnya pakai OVO, 'kan?"
Tanpa menjawab, saya keluar dari Avanza miliknya dengan perasaan dongkol. Langkah kaki setengah terseret menarik perhatian Ibu yang sejak tadi sibuk dengan taman kecilnya. Palem dan monstera meliuk-liuk, menikmati sentuhan air dari selang yang Ibu semprotkan.
"Baru pulang kamu, Rul?" Ibu mematikan keran air, menatap saya dari ujung rambut sampai kaki. Syukurlah, saya masih sempat mengecek penampilan sebelum pulang tadi. Setidaknya wanita itu tidak meninggalkan kiss mark di leher ini.
Ayah menurunkan koran yang dia baca, menatap diri ini dengan tatapan menyelidik, kaki yang tadi dia silangkan perlahan diturunkan bersamaan dengan meletakkan bacaannya di meja. Sial! Sepertinya, saya akan menerima kuliah pagi hari ini.
"Duduk sini, Rul." Ayah menunjuk kursi rotan di sebelahnya. Ibu melenggang ke dalam, mungkin ingin menyiapkan sarapan. Sejak pindah ke Makassar, Ibu selalu menyiapkan sarapan berat setiap harinya. Untung saja, saya masih rajin berenang. Kalau tidak, entah akan berapa banyak lipatan lemak di perut ini.
"Sini, Rul!" perintah Ayah dengan suara dalam dan tegas. "Kamu itu sudah seperti orang lain saja, berdiri diam di situ."
Saya menghela napas, lantas menjatuhkan bokong di sampingnya, bersiap-siap mendengarkan petuah bijak dari Ayah. Semoga saja tak ada aroma lain yang menguar dari tubuh ini.
"Kamu itu dari mana saja? Bukannya semalam kamu ke nikahan Elvira?"
Saya mengangguk pasrah, bukan rahasia di keluarga ini kalau Elvira memilih meninggalkan saya. Tetapi, berkali-kali nama itu disebut rasanya makin perih. Belum lagi dengan kesalahan yang telah saya lakukan semalam. Menenggak alkohol sampai mabuk bahkan melakukan hal terlarang dengan wanita yang tidak saya kenal. Sial! Apa yang telah saya lakukan? Bagaimana kalau dia hamil?
"Semalam tidur di mana?"
Duh, Ayah ini. Straight to the point. Tak ada basa basi sama sekali. Makin mirip sama Ibu.
"Di rumah Irfan, Yah. Losari macet sekali semalam. Banyak perayaan Valentine." Saya berusaha tetap tenang, jangan sampai Ayah curiga. Meskipun, jujur, saya merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Perasaan bersalah ini semakin besar saja.
"Ayah nggak masalah kamu nginap di luar. Tetapi beri kabar, Rul. Kasihan Ibu menunggumu sampai ketiduran di ruang tamu." Ayah menghela napas sebelum akhirnya menenggak teh panas yang masih bersisa setengah di cangkirnya.
"Maaf." Hanya satu kata itu yang mampu saya ucapkan. Kehabisan stok kata-kata. Saya berdoa semoga Ayah tidak menambah daftar panjang pertanyaannya.
"Ya sudah, ayo sarapan. Ibumu bikin daging toppalada."
Baru saja saya menegakkan tubuh, ucapan Ayah membuat semua sendi di tubuh ini melumer.
"Rul, Ayah percaya kamu loh. Pergaulan anak muda kadang melewati batas. Jangan sampai merusak anak gadis orang dan bikin malu orang tua."
Saya tidak menjawab, hanya mengangguk. Kaki ini berjalan gontai mengikuti langkah Ayah dari belakang. Membiarkannya jalan duluan karena saya tidak berharap Ayah menangkap sesuatu yang membuatnya curiga.
"Ayo, sini. Makan dulu, Rul," panggil Ibu dari dapur. Meja makan kami memang bersatu dengan dapur bersih. Hanya sebuah partisi ukiran Jepara yang memisahkannya dengan ruang keluarga. Mencari rumah dengan lahan yang luas memang semakin susah. Solusinya dengan desain interior minimalis, ruangan terlihat lebih lapang. Kalaupun ada yang lahannya luas, harganya sudah membumbung tinggi, seperti lahan reklamasi Losari yang sampai saat ini masih belum bisa saya mengerti.
"Semalam, Elvira pasti cantik sekali, ya, Rul?"
Pertanyaan Ibu disambut dehaman Ayah. Kedua orang tua saya ini memang tidak ada niatan menjaga perasaan saya. Aroma wangi dan gurih dari masakan Ibu mendadak tak menarik lagi. Lidah ini kelu sepahit empedu. Hilang sudah selera makan saya. Padahal sebelumnya, perut ini sudah berbunyi nyaring minta diisi. Kegiatan semalam benar-benar menguras tenaga saya.
"Kamu ke resepsi Elvira, 'kan? Nggak keluyuran macam orang putus cin—"
"Dia memang putus cinta, Bu." Ayah memotong ucapan Ibu, dengan mulut yang masih penuh makanan.
Masakan Ibu memang selalu enak setiap harinya, katanya itu salah satu alasan Ayah jatuh cinta padanya.
"Iya, maksudku .... Tahu sendiri kan, Yah. Anak muda sekarang gaulnya gimana?" Ibu menyahut lirih tetapi sukses membuat sendok yang saya pegang terjatuh.
"Rul?" Ayah mendongak menatap saya. Mata hitam kelamnya seakan mengunci tatapan ini tidak teralihkan ke tempat lain. Saya yakin sekali, Ayah pasti menganggap diri ini ada masalah. Namun, saya rasa, dia tak ingin bertanya lebih jauh.
"Habis sarapan, istirahat, Rul. Sepertinya kamu kurang tidur. Kasihan banget temanmu. Harus menampung orang yang lagi patah hati."
Beugh! Ibu saya ini logatnya sehalus sutra khas Jawa tetapi ucapannya itu setajam belati Makassar. Ayah bahkan berhenti mengunyah makanannya, menatap dengan iba.
"Habiskan sarapannya," ucap Ayah pelan lalu meletakkan sendok, menandaskan minumannya. "Apa pun yang terjadi antara kamu dengan Elvira itu sudah jalannya, Rul. Sejak pertama kamu ngenalin dia, Ayah rasa dia enggak cocok sama kita."
"Huum, bener banget itu." Ibu pun mengiakan ucapan Ayah. "Belajar nrimo, Rul. Dia bukan jodohmu."
"Sudahlah, Bu. Anak kita sedih, kok kamu makin sadis gitu sama dia?"
"Ya, nggak pa-pa toh? Biar jadi laki-laki itu kuat dikit, kenapa?" Ibu menyahut tak mau kalah.
Aih! Obrolan ini semakin menambah perih di hati ini. Ucapan keduanya ibaratnya garam yang ditabur di atas luka menganga. Sebaiknya saya menghindar, semakin betah di sini, Ayah dan Ibu semakin menjadi. Saya tahu, kalau itu bentuk dari kesedihan mereka. Keduanya juga menyayangi Elvira, bahkan mungkin melebihi rasa sayang mereka ke saya.
"Saya sudah kenyang. Yah, Bu, Ruly ke kamar dulu."
💕💕💕Hello Sexy Readers,
Kelanjutan Saviora bisa dibaca di Karyakarsa akun belladonnatossici. Murah meriah saja harganya.
Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...