Kalau ada yang bertanya, apa yang membuat saya memilih menetap di Bumi Anging Mamiri, jawabannya hanya dua, Elvira dan Pantai Losari. Setiap menyusuri jalanan di salah satu ikon kota ini senantiasa membangkitkan kenangan tersendiri.
Dulu sekali, Pantai Losari menjadi tempat pertama yang saya kunjungi bersama Elvira. Saya belum punya kendaraan saat itu, tetapi dia senang naik turun angkutan umum yang kemudian kami lanjutkan dengan berjalan kaki, tak apa katanya asal bersama. Dulu saya tertawa karena tersanjung, sekarang saya tertawa sambil mencibir. Kalau ada yang bilang laki-laki adalah buaya darat, saya mengatakan sebaliknya. Perempuan hanya setia pada laki-laki berduit.
"Pisang Epe-ta se're, Daeng (Pisang epe-nya satu, Bang)." Meski logat saya terdengar aneh, bapak tua yang ada di balik gerobak hijau itu mengangguk. Lima tahun beralih KTP membuat saya sedikit mengerti bahasa lokal.
Debur ombak menerpa tembok pembatas menyapa rungu, angin Februari terasa lebih dingin di permukaan kulit daripada biasanya. Embusannya terkadang diikuti rinai hujan. Di ufuk senja langit kelabu dengan gumpalan awan kumulonimbus yang berarak-arakan pelan.
"Antamaki rawa tendaiyya, Daeng. Bosi sallang sinampe (Masuk ke bawah tenda, Bang. Sebentar lagi hujan)." Lelaki tua itu menyiapkan pesanan saya di meja panjang, kuliner pisang yang dibakar kemudian digeprek lalu dilumuri gula aren, kuahnya kadang bercampur durian. "Riolo tenapa anjungang (Dulu belum ada anjungan)." Bapak tua itu menunjuk dari Utara ke Selatan, ke area yang diberi nama anjungan Mandar-Toraja, Losari dan anjungan Bugis-Makassar.
Saya mengangguk paham, Elvira pun banyak bercerita tentang resto kaki lima yang dahulu ada di sepanjang garis pantai Losari. Mata ini terpaku tepat di tengah lahan yang dulu diceritakan Elvira. Sekarang tergantikan dengan ruang publik yang ramai dikunjungi warga. Beberapa pasangan berswafoto dengan latar patung yang menggambarkan kekayaan budaya lokal. Ada yang sampai memanjat patung kerbau dan becak demi mendapatkan hasil yang memuaskan, sementara beberapa pasangan keluarga muda memilih duduk di area yang lebih lapang di mana patung pejuang dan rumah adat dipajang.
Namun, sebagian besar pengunjung tampak bercengkrama di area tembok batu berbentuk huruf bertuliskan nama empat suku besar di Makassar sambil menyaksikan keindahan matahari terbenam, merasakan embusan angin laut, atau menonton beragam festival serta pameran yang digelar.
Sekarang, dermaga tua di ujung Selatan Pantai Losari sudah hilang, tak ada lagi bocah-bocah bertelanjang dada yang melakukan atraksi berloncatan ke laut. Pemandangan itu kini berganti dengan kehadiran masjid terapung Amirul Mukminin yang selalu sarat pengunjung. Elvira yang saya ingat seperti seorang marketing, menjelaskan dengan berapi-api sampai meramalkan harganya pasti akan melambung tajam. Ramalannya terbukti. Penuh semangat dia mengatakan harapan untuk memiliki satu kavling lahan dengan sea view.
Yang saya lakukan saat itu hanya mengangguk tanpa ada keinginan menanggapi, gila apa? Rumah tinggal yang berbatasan dengan laut? Apa orang-orang kaya Makassar tidak ingat saat tsunami meluluhlantakkan Aceh? Bisa saja kejadian serupa menimpa Makassar dengan adanya patahan aktif yang melewatinya.
Kosong. Mungkin seperti itulah kata yang yang bisa disematkan untuk menggambarkan apa yang saya rasakan sekarang. Tangan ini sampai bergetar memegang kartu soft cover berwarna jingga, menyelisik untaian kata demi kata yang ditorehkan oleh tinta emas.
Seminggu lagi. Dua kata itu tercetak di mata saat pandangan ini terhenti di satu titik, kemudian menembus langit-langit kepala, meranggas ke otak lalu menjalar sampai ke dada, menghimpit paru-paru dan meninggalkan sesak.
Rasanya sakit, ya Tuhan ....
Elvira benar-benar telah meninggalkan saya di tempat yang sama pertama kami jalan berdua.
"Apakah ini sudah keputusanta (keputusanmu sudah final)? Kamu ingin putus dan mengakhiri hubungan kita?"
Pertanyaan panjang itu ternyata menerima jawaban yang tidak ingin saya dengar.
"Dia bisa memberi apa saja yang saya mau, Rul. Maafkanka (maafkan saya)."
Seharusnya saya tidak perlu bertanya, cukup mengiakan keinginannya. Namun, terlambat untuk menarik ulang kata yang telah terucap. Betul adanya jika status sosial terkadang mengubah segalanya. Membalikkan keadaan seseorang yang dulu mencinta sekarang berubah jadi membenci.
"Saya akan memberikan apa pun yang kamu minta, Ra." Saya menarik kedua tangannya, mengambilnya ke dalam genggaman erat yang memilukan... Sumpah! saya tidak ingin melepasnya.
"Kapan bisanya? Menunggu rambut kita sama-sama beruban?" Elvira mendengkus kasar, berusaha sekuat tenaga melepas jemari yang saya tautkan.
"Bersabarlah, Ra. Saya sedang mengusahakannya. Tolong, kasih saya waktu untuk membuktikannya sama kamu." Saya mendesah lirih, melepaskan jemari yang ditariknya tanpa henti. Tangan ini perlahan terangkat menyentuh pipinya, menatap jauh ke dalam manik hitam kelam itu, mencari sesuatu yang dapat dijadikan alasan untuk tetap berada di sampingnya.
Dia menghela napas panjang. "Rul, saya bukan orang yang sabar. Kamu tahu itu!" Elvira menarik tangan yang masih menangkup pipinya. Dia menghempaskan ibaratnya tidak ingin ada kuman yang menempel padanya. "Tiga tahun Rul! Itu sudah cukup buat saya nunggu."
Saya diam. Iya, dia benar. Selama ini tidak ada kejelasan yang bisa dia raih dari hubungan ini. Elvira sudah berkali-kali menginginkan pernikahan kami dilangsungkan dengan konsep yang dia tentukan. Rancangan pernikahan yang dia impikan dan ... meski saya menabung seumur hidup pun mungkin tak akan mampu membiayainya.
Ah, saya ini! Hari bahkan telah berganti bulan tetapi hati dan pikiran ini masih tertuju pada wanita yang sama. Sungguh, saya menyesal tidak bisa menjadi satu-satunya pria yang dia harapkan membuatnya bahagia. Saya mengutuk diri sendiri untuk segala keterbatasan dan ketidakberdayaan hingga Elvira pergi setelah memberikan harapan untuk selalu bersama.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Makassar dan bertemu dengannya, saya tahu kalau saat itu hati ini telah dia curi. Dua tahun dia gunakan untuk meyakinkan jika status sosial bisa kami atasi. Saya terlalu bahagia saat itu, saat menyadari telah jatuh cinta dan tidak bertepuk sebelah tangan, kami pasti akan bersama sampai melupakan semua rasio dan akal sehat.
Tiga tahun setelahnya, yang saya lakukan hanyalah mencinta dengan segala kesia-siaan. Lima tahun bersama Elvira harusnya saya sadar, dia adalah sesuatu yang tidak bisa direngkuh.
Andai saya tahu, dia akan menyerah ... saya tidak akan sampai ke titik ini. Saya sadar diri dengan perbedaan berjarak bumi dan langit. Metafora yang selalu diri ini tepis selama bersamanya. Saya menghela napas panjang menikmati segala keterpurukan yang terasa sekarang. Ah, Elvira, kenapa menyerah di tahun kelima kita bersama? Kenapa itu tidak kamu lakukan sejak dulu? Saya mungkin tidak akan sesakit ini.
💕💕💕Gimana bab 1-nya? Buat pemanasan vote dan komen yang banyak lah biar kami semangat.
Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...