6A-AURORA

433 74 13
                                    

Dunia memang tidak adil. Perempuan dicap pelacur bila sebelum menikah sudah kehilangan selaput dara. Zaman dulu sebelum gerakan feminisme bergaung, perempuan mau saja disamakan dengan Aqua yang mencantumkan peringatan, "Jangan terima bila segel rusak." Bersyukurlah ada teknologi sehingga kita bisa menipu para pemuja keperawanan. Cari saja fake hymen atau artificial hymen.

Apakah kemalangan itu hanya menimpa perempuan? Tentu saja tidak. Era ketika laki-laki jago di ranjang dipuja bagai dewa, mempersulit posisi laki-laki pemegang prinsip, 'tidak ada seks sebelum menikah'. Coba saja laki-laki usia pertengahan 20 tahun mengaku masih perjaka, ibarat kata mengumpankan daging berlumur darah pada ikan piranha, siapkan telinga mendengar ejekan mulai dari 'cupu' sampai 'homo'.

Salah satu cowok cupu itu bernama Ruly Savian. Perutku sampai keram karena kebanyakan cekikikan. Ya ampun, dia polos. Aku bingung harus mengucap selamat atau bela sungkawa atas hilangnya keperjakaan Ruly.

"Mana Ruly?" Radit mengorek gigi membersihkan sisa-sisa daging yang menyelip.

"Balik ke kantor."

"Padahal saya mau bilang sop konronya enak," Radit mendesah kecewa.

"Nda pamit sama kita?" timpal Rizky. Keringat sebesar beras mengucur deras. Dia mengelapkannya ke lengan baju.

"Buru-buru kali." Aku mengangkat bahu. "Nanti juga balik ke sini."

"Bagaimana ko seyakin itu?" Radit penasaran.

Aku duduk, mengambil satu potong piza margherita favoritku lalu melahapnya. "Karena dia punya salah."

Radit dan Rizky berpandang-pandangan. "Dia nda mengambil salah satu perlengkapan kita, 'kan?" tanya Radit.

"Tampangnya bukan tampang maling, tapi siapa tahu?" ucap Rizky julid. Kadang aku heran kenapa dia tidak alih profesi jadi tukang demo atau melamar posisi admin akun lambe-lambe itu.

"Nggak kok. Dia merasa bersalah padaku, meski sebenernya yang salah adalah kalian," kataku menghunuskan tatap segalak mungkin.

Radit menunjuk hidung. "Saya?"
"Saya juga?" tanya Rizky.

Aku mengangguk. "Karena setelah resepsi pernikahan Elvira dan Fahri kalian meninggalkanku berdua dengan laki-laki asing."

"Maafkanka, ko tahu mi gimana kuatirnya Ifa. Dia ingatkanka jangan pulang terlalu malam. Gara-gara nonton berita virus corona di Wuhan, dia rajin mengingatkan saya istirahat dan makan yang sehat. Sering-sering cuci tangan biar nda mudah sakit," Radit memintaku memahami calon istrinya.

"Saya juga," sambung Rizky, "Mama kurang enak badan, asmanya kambuh. Mama berpesan supaya saya nda pulang malam-malam."

Ibu dan Bapak pun khawatir padaku. Tadi pagi Ibu menceramahiku yang tidak pulang semalaman. Terpaksa aku kongkalingkong dengan Tiara, membohongi Ibu untuk kesekian kali, berkata bahwa aku menginap di rumah sahabatku.

"Ya sudah, nggak apa. Tepung terigu sudah telanjur jadi piza."

Meski baru mengenalnya kurang dari 24 jam, aku yakin Ruly bukan maling. Semua gerak-geriknya menunjukkan dia laki-laki yang baik. Selain itu, mukanya lumayan pacarable. Bibirnya juga kissable. Aku menjilat bibirku sendiri, membayangkan kami berciuman.

"Kan saya sudah kasih usul semalam, biar Ruly sendirian saja di sini. Kita kunci dari luar, baru paginya kita datang lagi, menengok dia," Ari menambahi, "Ko bilang kasianki. Kenapa sekarang menyalahkan orang?"

"Kan aku bilang nggak apa-apa, Ari. Nggak usah ngegas dong. Sini cubit dulu ususnya."

Malam itu Ruly tampak sangat menderita. Bagaimana aku tega meninggalkan orang putus cinta kalau aku sendiri pernah merasakan sakitnya yang serasa dicabik-cabik anjing gila. Aku belum pernah digigit anjing gila. Amit-amit. Hanya liur makhluk itu menetes dari mulut penuh deretan gigi tajam saja aku sudah merasa sakit.

SAVIORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang