2a - Aurora

90 4 0
                                    

Hoek

Hoek

Aku terduduk lemas di depan lubang kakus, masih memegangi perut yang mual. Kepala pening serasa habis naik roller coaster.

Bukan, aku bukan tek dung akibat berenang bersama cowok, bukan pula habis mantap-mantap di kolam renang mengingat gelar jomblo setahun belakangan menempel di belakang namaku.

Ibu masuk ke kamar mandi merangkap toilet, membawakan segelas air rebusan jahe campur gula jawa resep si Mbah. "Minum dulu." Ibu ikut jongkok. 

Sudahlah aku menurut saja. Tak punya tenaga juga buat membantah. Hangatnya air jahe menenangkan perutku.

"Kamu jangan kecapekan," ucap Ibu sambil mengusap-usap punggungku.

"Cuma perlu rebahan sebentar, Bu." Kutekan tombol penyiram air, lalu beranjak keluar dibantu Ibu.

Badanku ringkih belakangan ini. Kalah sama mendiang Ratu Elizabeth II yang semasa hidupnya, pada usia 90 tahun lebih masih berkuda, sedangkan aku capek sedikit pasti tumbang. Malu lah pokoknya kalau aku membandingkan kesehatan dengan nenek ningrat itu.

Wonder Band tempatku mengais rezeki lagi ramai orderan. Seminggu penuh tampil menyanyi dalam event-event, mulai dari pernikahan, ulang tahun rumah sakit, sampai sweet seventeen anak SMA, ini hasilnya. Mual, pingsan, muntah.

Ibu memapahku sampai aku berbaring di kasur. Dia membuka laci, mengambilkan obat anti muntah yang dokter berikan. "Makanya, kamu ikut tes CPNS saja. Waktu pulangnya jelas, gaji lumayan, kalau sudah tua terima uang pensiun. Kamu nggak mau kayak anaknya Bu Agus yang gagah pakai seragam? Bukan main bangganya dia padahal si Yuda masih honorer."

Astaga, anak sakit masih sempat dikuliahi. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur.

"Kamu nyanyi sampai malam. Gimana pula mau dapat jodoh? Sudah dua puluh lima umur kamu, Ora."

"Ibu," aku mencoba menjawab, "Syahrini menikah umur 30 tahun lebih juga dapat konglomerat. Bandingin sama Anida." 

Anida anak teman arisan Ibu. Tepat sehari setelah lulus SMA, pernikahannya digelar. Suaminya bekerja serabutan. Sebentar jualan es pisang ijo di pantai Losari, sebentar jadi kuli bangunan. Anida yang hamil tua jadi bahan gunjingan ibu-ibu lantaran berutang dari warung ke warung demi dapur mengebul.

"Kamu kalau dibilangin...."

Beruntung ponselku berdering. Ibu yang mengangkat.

"Oh, Tiara. Kasih tau temanmu ini supaya keluar dari band. Sakit lagi dia," Ibu mengomel sebelum memberikan ponsel padaku lalu keluar kamar.

“Ora, sehat-ji ko ?” tanya Tiara melalui video call.

“Sehat. Aku minum sarabba  (wedang jahe) pbuatan Ibu.”

“Sakitmu bukan masuk angin, Ora.”

“Memang bukan, tapi sakit sakurata,” kataku asal.

“Penyakit sakurata?” Tiara kurang gaul. Tahunya hanya rumah-base camp-lokasi acara. Temannya cuma hitungan jari. Humor yang bagi orang lain sudah basi, belum tentu Tiara paham.

“Iya, saku yang rata karena nggak ada isinya.”

Matemija!” Tiara berseru kaget, “Saya kira penyakitmu bertambah. Jangan bikin jantungan! Ko nda punya  uang karena boros. Sebentar beli BB cushion, sebentar beli liptint, sebentar beli baju baru. Ko habiskan uang kayak besok mau kiamat.”

Aku tertawa. “Tiara, sayang, kamu tenang aja deh. Aku sehat. Kenapa sih?”

“Ko ingat jadwal kita di Upper Hills?”
“Ingat dong, semua yang ada duitnya nggak mungkin aku lupa.”

Upper Hills adalah tempat ‘para sultan’ melangsungkan pernikahan. Iya, orang kaya yang tidak tahu bagaimana bunyi token listrik mau habis. Bagiku yang kalau sampo habis saja masih diisi air, dikocok-kocok, lalu dipakai keramas, jangan berani berkhayal menikah di sana.

Ko nda capek?” 

Haduh, bukan capek lagi, mau rontok malah. Minggu lalu sehabis menyanyikan lagu Selama Engkau Hidup dari Pee Wee Gaskins, aku sempat berkeringat dingin dan muntah. Tiara tergopoh-gopoh membeli minyak kayu putih.

“Nggak. Kan sudah minum Extra Joss.” Aku hampir menambahkan teriakan ala almarhum Mbah Maridjan, Rosa! 

Ko bercanda terus. Saya khawatir sama kondisimu,” ucap Tiara sebal.

“Aku sehat kok, Ra. Asal jangan suruh menyanyi Sajang Rennu."

Sebulan lalu, delapan kali aku membawakan lagu menyayat kalbu dan mengoyak perasaan itu. Kalau orang lain mabuk ballo (miras khas Makassar), aku mabuk Sajang Rennu.

Sahabatku menghela napas. “Ada pesanan lagu khusus dari calon pengantin,” tutur Tiara akhirnya, “Alosi Ri Polo Dua dan Sajang Rennu.”

Dalam kepalaku terdengar piring pecah berceceran ala sinetron.  
Suruhlah aku menyanyi The Power of Love-nya Celine Dion, You are The Reason milik Callum Scott, atau Endless Love sekalian, tidak apalah, meski lagu uzur. Entah kenapa orang sini suka sekali memesan lagu yang tidak ada romantis-romantisnya macam Sajang Rennu untuk hajatan pernikahan. Syairnya bercerita tentang seseorang yang ditinggal menikah kekasihnya. Sama sepertiku yang ditinggal mantan. Katanya mau menuntut ilmu, ternyata malah cari pacar baru, lantas memutuskan menikah tanpa mengundangku. Setiap kali menyanyi Sajang Rennu, ulu hatiku serasa ditonjok Chris John.

“Mempelainya nggak mau lagu lain? Akad dari Payung Teduh misalnya, lebih manis,” ucapku mencoba menawar.

“Nda bisa. Bagaimana mi? Kalo ko keberatan, saya bilang sama Radit,” ancam Tiara.

“Eits, jangan,” sambarku cepat. Kalau batal menyanyi di Upper Hills, foundation mahal incaranku akan melayang. Aku anti tampil buruk rupa. Lebih baik beli make up tiga juta lalu makan mie instan sebulan penuh daripada makan steak setiap hari tetapi puasa beli make up. “Bisa kok, bisa.”

💕💕💕

Hello, Sexy Readers,

Yang pengen baca novel berlatar lokasi selain Jakarta, ikuti terus Saviora. Saya dan WidiSyah bakal ajak kalian semua jalan-jalan ke Makassar dan sekitarnya.

Sampai ketemu Minggu depan. Yang mau baca lebih cepat dan GRATIS, silakan ke Karyakarsa akun belladonnatossici. Bab 1-5 nya gratis. Ada sedikit dekorasi untuk setiap awal bab biar makin semangat bacanya karena warna-warni.

Bagus kan? Yang mau stay di Wattpad, boleh banget kok. Sabar menanti setiap hari Minggu yaaaa. Kita ketemu sama Ora dan Ruly di sini. Stay tuned.

Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋

SAVIORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang