Minggu depan kami lumayan banyak mendapat tawaran. Rumah sakit tempat Dokter Theo kembali mengundang kami mengisi sesi hiburan setelah seminar risiko kehamilan pada wanita penderita Lupus. Rupanya, penampilanku saat ulang tahun rumah sakit itu beberapa bulan yang lalu terlalu membekas sampai Wonder Band diminta memeriahkan acara mereka kembali.
“Bagus!” Radit mengacungkan jempol bertepatan dengan berkumandangnya azan maghrib.
Ifa yang datang membawa donat kentang aneka rasa bertepuk tangan. Sebetulnya aku ingin mencomot satu yang diberi topping almond, tetapi mengingat punya janji makan malam, kuurungkan niat itu.Ruly tiba pukul tujuh kurang seperempat setelah kami selesai salat berjamaah. Dia menggulung lengan kemeja biru mudanya sedikit di bawah siku. Entah sejak kapan aku suka melihat separuh lengan laki-laki. Selain bibirnya yang kissable, lengannya pun pelukable.
Aku sendiri sudah siap dengan dress biru tua di atas lutut. Ruly melirik pahaku yang untungnya cukup bisa dipamerkan. Aku penasaran seperti apa orang tua Ruly yang mengajarkan anak laki-lakinya soal mengekang diri. Kalau dilihat dari penampilan, Ruly bukan tipe fanatik. Celana kantor menutup mata kaki, keningnya pun tidak berwarna hitam.
“Ifa, ini Ruly,” kataku.
Ifa tersenyum ramah menyambut uluran tangan Ruly.
“Aku pergi ya, sayang-sayangku, muah, muah,” kataku lalu melempar ciuman jarak jauh untuk semuanya.
Ruly membukakan pintu bagiku. Mataku tak sanggup mengedip. Serasa nonton film hitam putih zaman dulu, era ketika para aktornya menghormati wanita.
“Kamu ganteng banget,” pujiku setelah berhasil mengeluarkan suara yang tertahan di leher.
“Makasih.” Ruly berusaha tersenyum. Dia masih gugup.
Dari samping, Ruly cukup tampan. Hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi maskulin. Mata hitamnya yang terfokus ke jalan raya menguarkan aura seksi. Posisi tangannya memegang kemudi saja menyihirku untuk memandangi terus. Apalagi lengan panjang kemejanya masih tergulung. Menggiurkan.
Sehari-hari ada Rizky, Ari, dan Radit yang notabene laki-laki. Aku bukan cewek Amazon dalam film Wonder Woman yang menganggap kaum adam adalah makhluk ajaib. Lalu, kenapa Ruly membuatku betah memandanginya?
“Kamu sering ke La Buana?” Ruly membuyarkan pikiranku yang mengembara keluar galaksi.
“Beberapa kali nyanyi di sana. Kamu sendiri?”
“Sekali dulu sama….”
Susah bicara dengan orang patah hati. Sedikit-sedikit ingat mantan. Padahal niatku minta makan malam di sana adalah agar dia melupakan Elvira. Aku masih tersinggung karena namanya disebut-sebut saat aku nyaris memperoleh kepuasan.
“Kamu sama Elvira ketemu di mana?” tanyaku penasaran.
“Kami satu kantor. Tadinya saya di Jakarta. Sejak Ayah pensiun, kami memutuskan kembali ke kampung halaman Ayah. Saya diterima di perusahaan konstruksi. Karena letak meja saya dan Elvira berdekatan, saya sering melihat dia. Suatu hari saya memberanikan diri mengajaknya makan siang. Obrolan kami nyambung. Karakter kami pun agak mirip, nggak suka keramaian. Meski harus saya akui, Elvira memang menyukai kemewahan.”
Elvira memang cantik. Aku yang perempuan saja mengakui, apalagi laki-laki sehat. Gaji Ruly belum tentu cukup untuk biaya perawatannya. Elvira maupun perempuan waras manapun akan meninggalkan Ruly demi laki-laki yang lebih menjanjikan.
"Berapa lama kalian pacaran?""Lima tahun."
Pacaran lima tahun tetapi masih perjaka? Mereka pasti cuma main masak-masakan kalau bertemu. Elvira secantik bidadari, apa Ruly yakin tidak perlu konsultasi ke dokter mata? Wah, kalau benar mereka tidak berbuat apa-apa, Fahri pasti bahagia jodohnya dijaga Ruly dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVIORA
RomanceRuly hanya pria biasa, memiliki pekerjaan seperti laki-laki pada umumnya yang tak menjanjikan kemewahan. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan pria lain yang mampu memberikan segalanya. Sakit hatinya harus dia pendam demi kebahagiaan orang l...