3b - Ruly

104 1 0
                                    

Saya merasakan tubuhnya mematung, menegang dan meremang. Bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. "Rul ... ini ...." Terbata karena sentuhan yang saya sematkan di sepanjang kulit halusnya.

"Elvira, saya rindu kamu." Saya kembali mengecup punggungnya, berkelindan dengan jemari ini mengelus lengannya, menyampaikan perasaan membuncah tanpanya. Ah, Elvira ... dia menggelinjang ketika bibir ini menyentuh cuping telinganya.

Dia mendesah lagi, "Rul ...." 

Saya memeluknya, merindukannya, menciuminya dengan rakus, mendambanya, menghirup semua aroma yang menguar darinya. Perasaan rindu ini semakin meluap, mengalir bersama darah yang kian menggelegak.

Mendidih.

"Rul, ini ng-gak adil," desahnya diikuti rintihan. "Geli tau!" Tubuhnya bergerak-gerak bagai menahan gelitikan. Saya hanya mengecup punggungnya, menumpahkan semua kerinduan sejak ketiadaannya sementara sebelah tangan ini sesekali meremas bokongnya. Gemas. 

"Gimana kalau gini?" Dengan cepat dia berbalik lalu mengalungkan tangan di leher ini. Memijat kulit kepala ini dan bergelayut di sana. Saya tak pernah menyangka apa yang dia lakukan. Tatapannya membuat sesuatu di dalam diri ini menuntut lebih.

Ketika dia merapatkan tubuhnya, tangan ini merespon merengkuh pinggangnya, menopangnya. Bibirnya terasa hangat menemui bibir ini dengan tergesa. Mengulum, menjilat dan menggigit. Dia menyerbu saya dengan pesonanya, dengan wangi rambut dan tubuhnya.

Ra? Dia lincah sekali. Ya Tuhan, ternyata di saat mabuk Elvira jadi seliar ini. Saya jadi belingsatan sendiri. Gesekan halus yang dia lakukan di permukaan tubuh ini sungguh ... ah, saya tak mampu menjelaskannya dengan kata.

Saya menunduk, menggeram, mengikuti rima dan penghambaan yang dia berikan. Hingga mendambanya sampai sedalam ini.

"Aaargggh... Elvira." Saya mengerang dengan mata memejam, melangkah mundur, lapar dan dahaga menyatu bersama desakan tubuhnya. Bibir penuhnya masih betah bereksplorasi membungkam bibir ini. Berpagut erat seirama dengan langkah yang terhenti di pinggiran sofa.

Dia melepaskan bungkamannya, saya kehilangan, Tangannya mendorong dada ini dengan keras sampai menghempas di sofa empuk. Tubuh ini menumpu dengan kedua tangan dan napas terengah. Resah. Gelisah.

"Kamu payah! Aku bukan Elvira," bisiknya, memainkan ujung handuk sambil menyeringai. Tatapan binalnya sangat menggoda.

Bukan Elvira? Dia bohong.

Shit! Saya berharap handuk itu segera terlepas. Otak ini semakin kehilangan fungsi rasionalnya. Menguar bersama geraman.

Perlahan dia naik ke pangkuan, menatap sesuatu yang menggembung di antara kedua paha ini dengan pandangan takjub. Sudut bibirnya terangkat, melengkung tipis.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan dengan ini?" Elusan jemari tangannya bertemu di pangkal paha lalu perlahan naik membuka kancingnya. Oh, tidak! Kontrol diri ini bergerak semakin menjauh.

Geraman, erangan, desahan dan lenguhan kembali terlepas dari bibir ini saat dia dengan lincah meloloskan celana yang saya pakai kemudian bersimpuh di antara kaki ini.

"Elvira, please ...." Saya bangkit, menegakkan tubuh dengan siku, melihat apa yang sedang dia lakukan. Dia menyiksa saya dengan jilatan, kecupan dan gigitan, bergerak dari bawah ke atas di sepanjang tungkai dan paha. Sapuannya seringan bulu, teramat ringan.

"Kamu menyiksaku, Ra."

Dia tertawa lirih. "Itu karena kamu nakal, memanggiku dengan nama orang lain." Deru hangat napasnya menggelegakkan panas di ujung pusat tubuh. "Aku penasaran, seperti apa dia menyenangkanmu."

Jari-jari itu terjalin, mencengkeram. Saya kembali menjatuhkan tubuh, ingin menikmati tiap pijatan. Hidangan pembuka yang dia suguhkan teramat menggugah selera. Peduli setan dengan dosa yang ditanggung

"Seperti ini?" Tangannya mulai bergerak. Erangan dalam dari suara bariton ini berusaha meredam debaran dan getaran yang timbul dari tangan dan kejantanan ini. "Atau?" Hangat itu semakin dekat. "Seperti ini?" Jari telah berganti, lebih hangat dan licin, lidahnya? Wanita ini semakin menyiksa saya. "Atau? Seperti ...." Kalimat itu tak terselesaikan. Sibuk mengisap hingga punggung ini melengkung.

Tangan yang selama ini tenang di sisi tubuh ini mencengkeram rambutnya, menggerakkan kepalanya ketika ritme yang dia lakukan tak beraturan. Tubuh ini terasa melumer seperti api memanaskan besi yang alirannya bergerak perlahan menuju pusat. Namun, dengan tiba-tiba dia melepaskan isapan.

Aaarrrgh, lagi-lagi saya dibuatnya kehilangan.

Dia bangkit, kembali merangkak ke atas tubuh keras saya yang sedang mengatur napas. "Aku nggak mau kamu berakhir di mulutku!" bisiknya serak di samping telinga ini. Binar nakal nan binal berkilat di matanya. Tubuhnya kembali turun. Cairan hangat dan licin menyapa perut ini menunjukkan bahwa dia juga sama resahnya.

"Kamu membuatku gila, Ra." Mata ini semakin mengabur berkabut gairah. Sepertinya itu adalah pujian yang tepat untuknya. Kali ini dia tersenyum, perlahan melepaskan handuk yang sejak tadi membalut rapat tubuhnya. "Tetaplah seperti itu. Panggil saya Ra, nama saya Ora, bukan Elvira."

Abaikan ucapannya, mata ini menatap tak percaya. Ya, Tuhan ... Tangan-Mu begitu sempurna memahat indah sesosok maha karya. Tubuhnya kembali diangkat, tangannya bertumpu di dada yang masih terengah ini. Satu tangan kecilnya mengambil kejantanan ini, menyatukan dengan pelan dua hasrat primitif yang terkungkung renjana.

Dia mendesah dan menggigit bibir bawahnya saat tubuh kami bersatu. Saya tak ingin menyakiti, maka saya membiarkannya mengambil apa yang dia mau melalui kewanitaan yang membelit, entakan yang semula pelan berganti pinggul yang dia gerakkan naik turun.

"Aaargggh! Sayang...."

Saya kembali menggeram, semuanya terasa sangat pas. Kemeja yang saya pakai telah terbuka. Entah kapan dia melepas kancingnya. Gerakannya semakin liar dan binal bercampur dengan lirih desahan yang menggema.

Tangan saya meremas bokongnya, membantunya menerima hasrat yang sama saya rasakan. Ini sungguh ... luar biasa. Peluh membasahi, mengilat di tubuh dan dadanya, lenguhannya kembali terdengar.

Dia tampak kepayahan. Tak apa-apa 'kan? Kalau saat ini saya membalas? Memberikan apa yang dia inginkan? "Let me help you."

Saya bangun, merengkuh tubuhnya yang masih menyatu di pangkuan, menciumi puncak dadanya yang tegang membusung. Dahaga ini menyekat meminta dituntaskan. Tangan saya bergerak mengelus punggungnya, menjelajah setiap titik erotis kulit halusnya yang memesona. Begitu indah.

Dia memejamkan mata, menikmati sentuhan demi sentuhan dengan segenap perasaan yang menggenggam jiwa hingga tubuh mungil itu melengkung.

"Aaah, Ruly."

Saya menggeser tubuh diikuti bibir saling melumat, membaringkan tubuhnya yang tampak gelisah. Suara pendingin menderu, mengimbangi napas yang kian memburu, gairah kembali berpacu.

Pinggul ini bergerak perlahan setelah penyatuan kami lago, diri ini tak ingin melukai. Namun, tatapan sayu dan gerakan liarnya menginginkan lebih. Menuntut. Saya terhipnotis, menghambanya.

Gerakan ini semakin cepat, mengentak, menerjang, membanjirinya dengan hormon oksitosin. Keringat saya mengalir ke tubuhnya seiring pemberian ini padanya. Hasrat yang panas menguar seiring gerakan kami, membangkitkan setiap saraf di tubuh. Tak ada lagi tempat yang tak tersentuh, saya menggapainya sampai ke jengkal terujung. Dia kembali mengerang di tengah guncangan ini.

"Raaa, Sa-yang...." Saya menggeram dengan suara serak, gerakan pinggul ini semakin liar, memberikan dorongan yang sangat dalam, meresapi wajahnya yang memerah dan bibirnya yang membuka meluncurkan desahan terapuhnya.

"Aaah." Tubuhnya menggelinjang meliuk indah, senyum samar terbit di wajahnya yang mengilat. Sebelah kakinya naik ke bahu, tangan ini mencengkeram betisnya, menggigit, menjilatnya dengan lidah ini.

Desahannya panas dan membakar seakan menantang saya untuk bergerak lebih cepat lagi di setiap rintihan napasnya, menenggelamkan diri ini jauh di setiap guncangan tubuhnya. Bibir ini mencari, menggodanya, melumatnya dengan rakus, membungkam lirihnya.

Tangannya mencengkeram lengan ini dengan kuat, tak bisa berbuat apa-apa selain bergetar dan menerima tubuh saya yang mengentak-entak, pinggul ini terus bergerak, menghunjam dengan kuat dan cepat.

Semakin cepat.
Saya berusaha membuatnya bahagia, memberi lebih dari apa yang dia inginkan tetapi sepertinya gagal. Tangan ini segera memeluk erat tubuh mungilnya saat renjana itu semakin dekat dan tak terbendung, mengalir deras, mencapai titik kepuasan itu, mengunci sensasi di ujung tubuh, lalu kemudian meledak.

"Elviraaa!"

💕💕💕

Walah, Ruly malah nyebut nama Elvira pas lagi enak-enaknya. Gimana kelanjutannya?

Tunggu Munggu depan. Kalau nggak sabar, bisa ke Karyakarsa. Gratis sampai bab 5.

Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋




SAVIORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang