3a-Ruly

620 115 44
                                    

"Ra, yakinko (kamu yakin) mau temani dia?"

"Iya, kasihan. Apalagi mabok begitu."

"Oh, iya. Saya pulang dulu numpang mobilnya Radit."

"Oh, iya, hati-hati, Ces. Takutka' nanti kenapa-napako (kamu kenapa-napa)."

"Saya pulang dulu. Ingatko nah! Janganko macam-macam!”

"Siap, Ibunda Ratu!"

"Jangan ketawa, Ra. Saya serius ini!"
“Iya, pulang sana. Saya ngantuk."

Ra?
Elvira?

Suara-suara itu perlahan menghilang. Namun, pening ini masih saja mendera. Saya meringis menahan sakit, ini di mana? Suara-suara ramai dari ruangan sebelah semakin menjauh digantikan keheningan. Yang mendekat hanyalah suara detak heels bertemu ubin dan derit pintu saat seseorang membuka bingkainya.

Saya di mana?

"Hei, kamu udah bangun? Sorry, aku nggak tahu kamu tinggal di mana, orang-orang di kondangan tadi nggak ada yang kenal kamu."

Mata ini masih mengabur meski saya berusaha memicingkan mata. Siluet wanita bertubuh semampai itu mendekat.

Elvira, kah?

"Jadi, aku terpaksa bawa kamu ke sini."

Jemari halus wanita itu menyentuh pipi ini. Hangatnya terasa hingga ke balik kulit.

Elvira kah yang menyentuh saya?

"Pipimu dingin. Aku ambilkan handuk hangat, ya." Wanita itu hendak berbalik tetapi sigap, saya menarik tangannya hingga dia jatuh terduduk di sebelah saya.

"Jangan pergi, di sini saja."

Saya tidak tahu kenapa mendadak melow seperti ini, tetapi keberadaanya membuat hati ini bahagia. Dia pasti Elvira. Dia memilih bersama saya. Dia ada di sini. Meninggalkan resepsinya.

"Aku nggak ke mana-mana, kok." Dia tergelak menahan tawa. Namun, bagaimana mungkin gaya bicara Elvira berubah? "Kamu lucu. Aku hanya mau ngambil handuk," lanjutnya dengan raut wajah menggemaskan.

Saya menegakkan punggung, mencoba bersandar. Namun, yang terlihat hanyalah ruangan yang berputar. Kalau tahu akan begini, saya tidak akan minum-minum.

"Ini di mana?" Saya kembali bertanya dengan suara lirih. Wanita yang saya yakini Elvira itu berdeham pelan lalu menghela napas.

"Ini di studio musik milik temanku. Namanya Hope Music Studio. Di sini kami latihan hampir setiap hari." Dia mengangkat kedua bahu, lalu menoleh ke saya. "Kita nggak tahu rumahmu, jadi kita bawa ke sini."

Saya bingung, ada apa dengan Elvira? Sejak kapan dia punya teman yang memiliki studio musik? Kenapa dia bersikap seolah-olah tidak kenal saya?

Wanita itu melepas sepatunya lalu menyilangkan kaki. "Duh, leganya." Dia menggerak-gerakkan kakinya, tampak puas sekali setelah melepas high heels-nya.

Tatapan saya jatuh pada benda berujung runcing itu. Terkadang saya heran dengan wanita yang senang sekali menyiksa diri untuk tampil menarik. Bagi saya, tanpa hak tinggi pun Elvira selalu memesona. Terlebih saat ini, dress pendeknya tersingkap memperlihatkan paha mulusnya, juga dengan lengan putihnya terekspos dari gaun tanpa lengan yang dia kenakan.

Entah mengapa saya merasa malam ini, Elvira sungguh seksi. Dia sebenarnya jarang sekali berpakaian terbuka, tetapi malam ini kenapa memilih model minimalis kekurangan bahan?

Shit! Kenapa juga saya jadi tegang? Tubuh ini bergerak tidak nyaman, ada yang terasa sesak di antara paha ini.

Kamu bisa, 'kan pindah ke sofa itu?" Dia menunjuk sofa panjang di sudut ruangan, saya berjengit kaget, kesiap pasti memenuhi rona wajah saya saat ini. Mata ini segera berpaling ke arah yang dia maksud.

"Nggak bisa jalan?" Sudut bibirnya terangkat membentuk cengiran lebar. "Namamu siapa kah? Dari tadi ngobrol, aku nggak tahu namamu."

Saya speechless.

Wanita ini tak berhenti mengoceh, mengalahkan burung beo dan kakatua. Sejak kapan Elvira jadi secerewet ini? Astaga, saya benar-benar mabuk.

"Hei, namamu siapa, by the way?"

Ah, sudahlah. Mengalah lebih baik. Mungkin Elvira juga mabuk seperti saya sekarang. Yang tampak di mata ini hanya sosok semampai dan ... buram. "Ruly, namaku Ruly, Ra." Saya lalu mengembuskan napas lelah.

"Wah, aku terkenal ya? Kamu tahu namaku." Dia bertepuk tangan gembira, kemudian berlari dari luar ruangan yang dipenuhi alat musik ini.

Tangan ini tak sempat lagi mampu menahannya. Dia ... seekspresif itukah Elvira sekarang? Baru seminggu tak bertemu, dia berubah. 180 derajat.

Saya sebenarnya penasaran, Elvira mengajak saya ke mana. Semabuk-mabuknya saya, otak ini masih mampu mengingat dengan jelas semua tempat yang pernah kami kunjungi. Kamar ini pun terasa aneh, hanya ada sofa, drum set, keyboard, lemari, meja rias.

Saya memeriksa saku celana, merogoh isinya, mendapati HP dan sesuatu yang tidak diperlukan ada di sana. Saya meringis mengingat apa yang telah diri ini lakukan. Sehancur ini kah hati ini? Separah ini kah efek patah hati? Saya bahkan lupa membawa dompet, yang ada malah kunci mobil yang jelas-jelas tidak dibutuhkan karena saya menggunakan jasa transportasi daring.

Tubuh sempoyongan ini saya paksakan bangkit, ada banyak burung mungil yang beterbangan dalam pandangan. Saya kembali memejamkan mata kemudian menggelengkan kepala. Telinga ini kembali mendengar suara gemericik air dari luar ruangan ... kamar mandi mungkin? Kepala saya sakit sekali sekali. Beberapa kali saya berusaha untuk mengerutkan alis, memicingkan mata tetapi di depan saya hanyalah pemandangan serupa fatamorgana.

Tangan saya berhasil meraih pinggiran sofa, menggapai sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Mata ini berkeliling menyelisik setiap jengkal ruangan. Meskipun, tampilannya mirip foto dengan efek bokeh tetapi saya jadi terpikirkan akan satu hal.

Ya! Ide bagus!

Saya bisa meniti di dinding itu, cukup berjalan perlahan dan ... rebahan di sofa panjang itu.

Gampang.

Sayangnya baru berjalan selangkah, kaki ini semakin lemas seperti jelly, rasanya ujung dinding itu semakin jauh ditambah dengan pemandangan berputar, isi perut ini kian bergolak tertohok asam lambung.

"Astagaaa." Pekikan panik membuat saya menoleh.

Wow, mata ini membola, mulut saya sampai menganga. Walau buram, pemandangan di depan saya saat ini sungguh menggiurkan. Wanita yang baru saja selesai mandi ini hanya berbalut handuk sebatas paha. Siluet kaki jenjangnya terekam jelas di kepala ini.

"Kenapa nggak bilang kalau mau muntah?" Tergopoh-gopoh wanita itu meraih tangan yang sedari tadi menempel di dinding lalu mengalungkan di lehernya. "Kenapa juga nempel gitu seperti tokek?" Dia bersungut-sungut kesal. "Harusnya ngomong kalau kamu masih pusing."

Dia memapah saya ke luar kamar dengan terengah-engah, tampak kepayahan menahan tubuh ini yang meliuk ke sana-sini seperti tertiup angin. Tungkai ini seakan tak mampu berdiri tegak. Bau sabun menguar dari lengan telanjang wanita ini seakan mengajak saya terbang ke awang-awang. Mata ini semakin mengabur ingin memejam.

"Cepaaat! Aku bisa digantung Radit kalau kamu muntah di sini."

Entah, tiba-tiba saya mendapat kekuatan dengan teriakan yang bercampur dengan engah napasnya yang memburu. Rasa mual yang semula muncul teredam oleh aroma wangi dari tubuhnya.

Wanita itu tersentak kaget saat tangan ini meraih lengan mungilnya dari leher saya, memerangkapnya dengan lengan yang menumpu tepat di dinding samping kamar mandi.

Saya butuh dia, tidak butuh wastafel apalagi lubang kakus.

"Saya kangen banget, Ra." Bibir ini menemui bahu telanjangnya, meninggalkan kecupan basah dan gigitan kecil di sana. Rasa rindu ingin diri ini leburkan dengannya.

***

Ada yang salah paham sepertinya. Yang penasaran silakan baca gratis di Karyakarsa belladonnatossici.

Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋

SAVIORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang