Pindah Rumah (episode 4)

1.3K 98 18
                                    

Aku berpikir cepat. Yang jelas, Arumi yang di depan mata. Segera kudekati dia.

"Arumi! Arumi!" Aku guncang-guncang tubuhnya untuk membangunkan. Namun tidak ada reaksi. Arumi terbujur kaku. Rasa cemas segera menyesaki dadaku.

"Ada apa dengan Arumi?"

"Arumi! Arumi!" Aku guncang-guncang lagi. Tapi Arumi tetap bergeming. Tidak bergerak sama sekali.

Aku mulai panik melihat Arumi yang tak bisa dibangunkan. Ditambah lagi keberadaan Naomi yang entah dimana dan keselamatannya yang belum jelas. Benar-benar membuatku kalut.

Tapi kekhawatiranku sedikit terkikis. Karena tubuh Arumi hangat. Aku tempelkan telingaku ke dada kirinya. Detak jantungnya terdengar normal. Nafasnya nya juga turun naik teratur.

Meski belum tahu ada apa dengan Arumi, pikiranku segera beralih ke Naomi.

Aku segera berlari keluar kamar. Tujuan pertamaku, kamar mandi.

Sesampai di depan kamar mandi, terlihat pintunya tertutup tapi tidak rapat. Segera kuhidupkan lampu, kemudian mendorong pintu tanpa ragu.

Tidak ada Naomi di sana. Tapi ada Teddy Bear nya Arumi. Boneka besar itu tersandar di salah satu sudut kamar mandi.

Sejenak aku tertegun, "Kenapa boneka ini sampai ada di sini? Tapi, ah, masa bodoh." Ingatanku kembali pada Naomi.

"Mana Naomi?" Aku makin kalut.

Aku berlari lagi meninggalkan kamar mandi menuju kamar depan. Kamar tempat biasanya Arumi tidur sendiri jika suamiku sedang berada di rumah.

Pintu kamar tertutup rapat. Aku putar dan dorong gagang pintu dengan kuat. Tapi tidak bisa terbuka, terkunci.

Dengan tergopoh-gopoh aku kembali ke kamar belakang. Tiba di kamar belakang, aku lihat Arumi masih terbaring telentang. Posisinya tidak berubah. Masih sama dengan saat aku tinggalkan tadi.

Kembali kuabaikan dulu Arumi. Kuambil kunci kamar depan di laci meja rias dan segera berari lagi ke kamar depan.

Dengan tergesa-gesa aku masukkan anak kunci dan memutarnya. Pintupun terbuka.

Gelap. Rupanya lampu di kamar itu dimatikan. Kupencet stop kontak di sebelah kiri pintu.

Begitu kamar terang, terlihat Naomi di atas tempat tidur dalam posisi menelungkup.

Aku segera memburu. Kubalikkan tubuh Naomi, lalu menepuk-nepuk pipinya.

"Naomi! Naomi! Bangun, Nak!"

Naomi menggeliat lalu membuka matanya. Tapi kemudian segera tertidur lagi.

Aku lega. Naomi tidak kenapa-kenapa. Segera kubopong dia dan bergegas kembali ke kamar belakang.

Naomi kembali kubaringkan di sebelah Arumi. Anak itu memang belum akan bangun sebelum pagi.

Perhatian ku kembali pada Arumi.

Kembali kucoba membangunkannya. Tapi sia-sia. Dia seperti orang pingsan.

Aku ambil HP di meja mesin jahit kemudian segera menelpon suami. Aku bingung harus berbuat apa. Yang terpikirkan saat ini hanya satu, memberi tahu suami situasi yang sedang kami alami di rumah.

Namun, berulang-ulang 'dial' dan nyambung, telpon tidak kunjung diangkat.

"Jelas dia sudah tidur, sudah dini hari, dan seperti biasa, HP nya pasti silent ketika tidur," simpulku.

Kembali kutatap Arumi. "Apa yang bisa kulakukan pukul 1.30 dini hari begini? Membangunkan tetangga? Tak mungkin rasanya."

Aku pastikan sekali lagi keadaan Arumi. Detak nadi dan nafasnya terlihat masih normal. "Mungkin cuma pingsan," batinku.

Aku coba memancing kesadarannya dengan mengusapkan minyak kayu putih ke hidungnya. Tetap tak ada hasilnya. Arumi tidak bereaksi sama sekali.

Akhirnya aku pasrah. "Sudahlah, aku tunggu saja sampai pagi."

Aku beranjak dari tempat tidur, hendak tahajud. Hanya sholat dan doa upaya tersisa yang masih bisa kulakukan.

Baru dua depa berjalan, langkahku seketika terhenti karena mendengar suara tawa dari belakang.

Aku langsung balik badan.

"Siapa yang barusan ketawa?Arumi atau Naomi? Batinku heran

Kembali aku dekati mereka. Tidak ada yang bangun.

"Siapa yang ketawa barusan?"

Jelas sekali tadi aku dengar suara ketawa seorang anak perempuan.

Bergantian kuamati Arumi dan Naomi.

Tiba-tiba ada suara tawa lagi.

Arumi rupanya yang ketawa. Suara tawanya riang. Seperti ketika dia sedang bermain dengan gembira dengan Beruang Teddy nya. Tapi kedua matanya masih tertutup.

"Arumi! Arumi! Bangun, Nak!" Aku guncang-guncang tubuhnya. Tidak ada reaksi. Hanya dari mulut mungilnya masih terlihat sesungging senyum. Dan setelah itu dia kembali terbujur kaku seperti tadi.

Aku urung tahajud. Kurebahkan tubuh di sebelah Arumi. Kupeluk tubuh sulungku itu. Karena kelelahan, akupun tertidur.

*****

Menjelang subuh aku tersentak dari tidur. Jam di HP menunjukkan pukul 4.38. Sebentar lagi Azan Subuh.

Kembali ku tepuk-tepuk ringan pipi Arumi. Masih sama. Dia tetap tidak bereaksi apa-apa.

"Allahuakbar..Allahuakbar..!"

Terdengar sayup-sayup Azan Subuh dari corong Masjid yang berjarak kira-kira 200 meter dari rumah kami.

Tiba-tiba Arumi membuka mata dan langsung bangkit dari tidurnya.

Aku kaget, tapi girang. Karena anak sulungku sadar.

Wajahnya langsung ceria. Seperti cerianya anak-anak yang sedang bermain dengan gembira.

Aku merasa ada yang aneh.

"Arumi..kok bangun-bangun langsung senyum-senyum gitu?" tanyaku hati-hati.

"Ih, bangun apaan sih, Ma? Aku kan barusan main. Asik banget loh, Ma."

Aku menelan ludah mendengar kata-kata Arumi.

Main?" Main sama siapa, Nak?"

"Sama adik kecil dong, Ma," jawabnya lagi.

Aku bergidik.

"Mana adik kecilnya, sekarang?"

"Itu, barusan udah pulang. Besok kami mau main bareng lagi."

"Astaghfirullaah."

Langsung kudekap erat bocah lugu itu.

"Apapun yang dia alami selama tidak sadarkan diri, yang penting dia sekarang baik-baik saja." Dalam hati aku bersykur, meski hatiku tak tenang.

Begitu banyak kejadian yang tak terjelaskan semalaman tadi.

Siapa yang mengetuk-ngetuk pintu? Kenapa Naomi tiba-tiba berpindah ke kamar depan? Dan kenapa kamar itu terkunci? Kenapa Teddy Bear ada di kamar mandi?

Dan yang paling membuatku khawatir, kenapa Arumi tidak sadarkan diri hingga Azan Subuh berkumandang? Dan kenapa, begitu sadar dia malah ceria dan bilang baru saja bermain dengan adik kecil?

Mengenai adik kecil itu sendiri, jelas sangat menghantuiku sejak pertama kali Arumi menyebut-nyebutnya di hari pertama kami menempati rumah ini.

Kejadian ini benar-benar membuat rasa khawatirku memuncak. Aku merasa tidak nyaman di rumah ini. Singkatnya, aku simpulkan rumah ini angker. Ada penunggunya. Di rumah sebelumnya, kami sekeluarga tidak pernah mengalami hal-hal aneh.

Jika suami pulang nanti, aku bertekad akan memintanya untuk pindah lagi saja dari rumah ini!

-bersambung-













Pindah RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang