Mas Lukman terus berusaha mengingat-ngingat di mana pernah mendengar nama itu. Namun, sepertinya gagal.
"Hmm ... aku lupa. Entah di mana dulu rasanya pernah mendengar atau membaca nama Ranti Pusparini, ini.
Sudahlah, mudah-mudahan nanti aku ingat.
Jadi gini. Gimanapun kita harus mengungkap misteri rumah peninggalan orang tua kita itu. Apalagi kalian menempatinya. Tentu tidak akan bisa tenang kalau masalah ini tidak terungkap.
Kasihan Novi dan anak-anak yang sering kau tinggal-tinggal, San.
Nov, kau dan anak-anak untuk sementara tinggal di sini aja dulu, ya! Biar Arumi, dan Naomi bisa main dengan Ayuni.
Nah, kau, San. Kau belum ada rencana mau ke luar kota dalam waktu dekat ini, kan?"
"Belum, Mas," jawab Mas Ikhsan.
"Nah, kau tetap pulang ke rumah, ya. Kita selidiki para pengontrak ini.
Dari arsip surat-surat kontrak, sepertinya kita bisa fokus ke dua pengontrak saja, Sumadi dan Ranti.
Coba kau tanya-tanya pada tetangga di sana tentang Sumadi ini. Gimana dia selama setahun di sana. Mungkin ada informasi yang bisa jadi petunjuk.
Terutama tanya pada Pak Sapta, tuh. Tetangga depan rumah. Pasti dia sekeluarga sedikit banyak memperhatikan aktivitas Sumadi selama di sana.
Sementara aku, nanti akan coba mengingat-ngingat lagi nama Ranti itu."
Sedangkan para pengontrak yang lain, sepertinya tidak ada yang mencurigakan. Kita kenal mereka." Pungkas Mas Lukman.
Akhirnya, hari itu Mas Ikhsan pulang sendirian. Dia akan melakukan apa yang diperintahkan kakaknya tadi.
Sedangkan Aku, Arumi, dan Naomi, untuk sementara tinggal.
Selama seminggu di rumah Mas Lukman kami bisa tenang. Tidak ada kejadian-kejadian aneh.
Aku juga tak perlu was-was lagi tiap sore mengawasi anak-anak bermain di bawah pohon sirsak. Selama di sini mereka asik bermain di rumah saja dengan Ayuni.
Dan yang paling membuatku lega adalah soal boneka. Sangat bersyukur rasanya Arumi mau menerima boneka milik Ayuni sebagai pengganti bonekanya yang tertancap secara misterius di pagar TPU.
*****
Tepat seminggu, Mas Ikhsan kembali datang.
Setelah shalat Zuhur dan makan siang, kami kembali lesehan di ruang keluarga.
"Gimana, San. Informasi apa yang kau dapat?" Mas Lukman langsung memulai obrolan.
Mas Ikhsan pun langsung bercerita.
"Ada beberapa informasi menarik, soal Sumadi ini, Mas.
Pertama, Pak Sapto bilang, sebenarnya para tetangga kurang nyaman dengan keberadaan Sumadi di rumah itu.
Sebab, seperti yang Mbak Fitri bilang minggu lalu, dia memang punya grup kesenian. Jadi rumah itu sering ramai oleh anggota grupnya.
Kadang para tetangga merasa terganggu jika mereka berlatih. Heboh dan berisik.
Trus, tetangga merasa tidak nyaman karena seringnya para biduanita juga ikut berlatih. Tak jarang mereka rame-rame menginap di sana. Bercampur laki-laki dan perempuan tanpa jelas apakah mereka pasangan suami istri atau bukan."
"Hmm ... gitu, ya? Salah kita ini, Ma. Tidak selektif mengontrakkan rumah ke orang," ujar Mas Lukman ke Mbak Fitri.
"Iya, sih, Pa. Habis mau gimana. Papa di Kalimantan, dan Ayuni masih kecil sekali ketika itu. Mama gak mungkin memikirkan masalah itu." kilah Mbak Fitri.
"Trus, apa lagi, San? Apa ada hal-hal aneh atau mencurigakan menurut Pak Sapto? tanya iparku itu lagi.
"Apa lagi, ya? Oh ya, Kata Pak Sapto tiap malam Jumat selalu tercium aroma asap kemenyan dibakar dari rumah kita itu. Sementara itu, Mas, informasi yang dapat kuperoleh," pungkas Mas Ikhsan.
"Ya ... informasi ini baru kita ketahui sekarang. Tapi, belum bisa menjelaskan indikasi apapun.
Selama meraka di sana, mungkin saja banyak kejadian buruk terjadi. Terutama soal keberadaan para biduanita itu. Mungkin pernah ada yang mengalami perlakuan buruk. Tapi, kita tidak punya informasi lain untuk memperkuat dugaan itu.
Soal kemenyan juga. Itu bisa mengindikasikan macam-macam. Bisa jadi hanya bagian dari adat istiadat, tapi bisa jadi juga itu adalah bagian dari pelaksanaan ritual tertentu. Tapi lagi-lagi kita tidak bisa menyimpulkan lebih jauh. Karena informasi yang kita punya terlalu sumir.
Baiklah San. Kau teruskan aja menggali informasi. Mungkin ke tetangga lainnya juga.
Aku sendiri sampai sekarang sama sekali masih belum bisa mengingat lagi di mana pernah mendengar nama Ranti Pusparini. Mudah-mudahan nanti ada jalannya," tutur Mas Lukman mengakhiri.
Demikian pembicaraan kami hari itu. Belum ada titik terang yang bisa menjelaskan kenapa rumah kami menjadi angker.
Atas perintah Mas Lukman, aku dan anak-anak tetap bertahan di rumahnya. Sementara, Mas Ikhsan kembali pulang.
*****
Pagi itu di kantornya Lukman sedang memilah-milah arsip. Beberapa arsip yang sudah memenuhi masa retensi akan dia pindahkan ke gudang.
Map-map folder yang memenuhi lemari arsipnya dia pilah satu per satu. Yang usia datanya telah melebihi dua tahun dia keluarkan.
Ketika mengambil map folder data pembayaran gaji karyawan tahun 2013 tiba-tiba Lukman teringat sesuatu.
Map ini dulu dia juga yang mengarsipkan tahun 2015. Saat dia baru mulai bekerja lagi di kantor pusat setelah lebih dua tahun bertugas di Kalimantan.
Dia amati map itu. Lalu dia bolak-balik arsip di dalamnya. Lukman tertegun ketika jemarinya akan membalik satu set berkas.
Berkas itu adalah arsip daftar pembayaran gaji karyawan Bulan Januari 2013.
Paling atas tertera nama Direktur Utama. Kemudian berturut-turut nama jajaran direksi lainnya.
Terus ke bawah, tertera nama RANTI PUSPARINI, jabatan Sekretaris Pimpinan.
Lukman terkesiap. Dia balik arsip pembayaran gaji bulan-bulan berikutnya.
Hingga bulan Juni masih ada pembayaran gaji atas nama Ranti Pusparini, dengan jabatan yang juga sama, Sekretaris Pimpinan.
Namun, di arsip pembayaran gaji, bulan Juli, nama itu sudah tidak muncul lagi.
"Berarti dia hanya enam bulan bekerja di perusahaan ini," gumam Lukman.
Lukman tersadar. Ini sebabnya kenapa dia merasa pernah kenal nama itu. Karena memang pernah membacanya ketika akan menyimpan arsip itu tahun 2015 lalu.
"Rupanya Ranti Pusparini pernah jadi sekretaris pimpinan selama enam bulan di perusahaan ini ketika aku di Kalimantan," gumamnya.
"Dan selama ini aku tidak sadar, dia juga pernah menghuni rumah warisan orang tuaku selama enam bulan," gumamnya lagi.
-bersambung-