Jam 10 pagi suami tiba di rumah. Dia memang sering harus lama meninggalkan rumah jika sedang ada proyek di luar kota.
Arumi dan Naomi segera menyongsong papa mereka ke pintu rumah. Seperti biasa, suamiku membawakan oleh-oleh buah-buahan untuk Arumi. Anak itu sangat suka makan buah yang dipotong-potong kecil, apapun buahnya. Tapi tidak terlalu suka jika dibikin jus. Kali ini dia dibawakan mangga.
Sedangkan Naomi, tidak pernah meminta oleh-oleh apapun. Dia sudah sangat kegirangan setiap menyambut papanya pulang dari luar kota.
Seperti biasa, Arumi langsung mengambil buah mangga dari tangan papanya dan dengan girang menaruhnya di kulkas.
Setelah menyuguhkan minum, aku tanya pasal telponku tadi malam. Ternyata benar perkiraanku. Telponku tidak diangkat memang karena dia sudah tidur dan nada dering HP dinonaktifkan. Memang begitu kebiasaannya.
Sore, selepas Ashar, kami sudah santai di ruang tengah. Aku melanjutkan menjahit. Arumi dan Naomi, seperti biasa sejak pindah ke sini, bermain di halaman belakang, di sekitaran pohon sirsak. Sementara, suami duduk di kursi malas tak jauh dari posisiku menjahit. Asik mengutak-atik HP nya.
"Pa, semalam aku nelpon berulang-ulang tuh karena lagi panik. Ada kejadian aneh lagi semalam," ujarku memulai pembicaraan.
"Kejadian apa, Ma?" Suami tetap asik dengan HP. Matanya sama sekali tidak beralih dari layar gawainya itu. Persis sama dengan sebelumnya, dia hanya dingin menanggapi.
"Duh, Pa, tolonglah kali ini dengerin aku! Ini serius, Pa! Menyangkut keselamatan anak-anak dan kenyamananku di rumah. Apalagi Papa sering lama tidak di rumah!" Nadaku meninggi.
"Ada apa sih, Ma? Ya udah, ceritain aja." Karena nada bicaraku serius, sesaat suami mengalihkan fokusnya dari HP dan menatap ke arahku. Tapi, hanya sejenak. Dia kembali menekuri HP nya.
"Semalam Arumi tak sadarkan diri dari tengah malam sampai subuh!"
Lalu kuceritakan seluruh kejadian semalam sedetil-detilnya. Juga keterkaitannya dengan ceritaku sebelumnya, mengenai tante dan adik kecil yang sering sekali disebut-sebut Arumi.
Selesai bercerita, kulihat reaksi suami tetap biasa saja. Ekspresinya datar. Tak terlihat ada gurat kekhawatiran sama sekali di wajahnya.
Sepanjang aku bercerita, dia terus main HP dan sesekali tertawa kecil. Seolah tidak fokus menyimak penuturanku dan lebih berkonsentrasi pada apa yang sedang dia lihat di HP nya.
Kutunggu beberapa saat. Dia masih tidak bereaksi.
"Pa! Kok Papa cuek aja, sih? Papa gak percaya, ya?!" Ya Allah, Papa, aku gak bohong, Pa! Gak mungkin aku mengarang-ngarang cerita soal keselamatan anak-anak kita! Papa gimana, sih!" Suaraku sedikit bergetar.
Aku kesal, karena kejadian yang membuatku panik semalaman, oleh suami dianggap angin lalu. Bahkan, mungkin, lagi-lagi dia anggap aku 'halu'.
Suami berdiri dan berjalan ke arah kamar kami. Tepat di depan pintu kamar, dia berhenti. Kepalanya mendongak memperhatikan sesuatu di dalam kamar. Kemudian, dia melambaikan tangan ke arahku.
"Ma, sini sebentar!"
Akupun berjalan mendekatinya.
"Tuh, Mama lihat, jam dindingnya hidup. Kata mama tiba-tiba mati tepat jam 12 malam. Mana? Hidup begitu, kok. Makanya, Aku tuh bukannya tidak percaya cerita Mama. Cuma saja gak ada buktinya, hehehe." Suami mengacak-acak rambutku seraya tertawa meledek.
Aku terkesima melihat jam itu. Benar ternyata, hidup. Waktu yang ditunjukkan jarum panjang dan pendeknyapun akur. Padahal, sampai tadi pagi, aku yakin betul, jam itu masih mati dengan ketiga jarumnya berada pas pada angka 12.