Pindah Rumah (episode 7)

1.7K 86 3
                                    

Aku panik. Semua prasangka buruk dan ketakutan pada suami yang sejak kemaren menghantuiku, hilang seketika. Berganti dengan rasa cemas yang luar biasa karena takut akan kehilangan suami dan ayah anak-anakku.

Karena pintu tak bisa dibuka, aku segera mengintip lagi dari jendela. Pandangan langsung kutujukan ke depan pohon sirsak tempat suami berlutut tadi.

Aku terkesiap, dia sudah tidak ada di sana.

Padahal, hanya berselang sekitar 10 detik sejak dia seperti mau menikam diri sendiri tadi, kemudian aku bergegas mencoba membuka pintu, hingga kembali lagi mengintip lewat jendela saat ini. Namun, sekarang dia sudah tidak ada di posisi tadi.

"Mana dia?"

Andai dia memang bunuh diri, tentu sekarang tubuhnya tersungkur di sana.

Sedang berfikir begitu, terdengar suara kunci dimasukkan ke lubang kunci, kemudian di putar.

Sontak perhatianku kembali teralihkan ke pintu.

Kemudian, gagangnya bergerak turun naik diikuti dengan terkuaknya daun pintu perlahan. Suara decit engselnya meggema panjang.

Aku terdiam menunggu. Setelah pintu terbuka sempurna, masuk sesosok pria. Tangan kanannya memegang tongkat kayu.

Sesaat jantungku serasa mau copot, namun segera terucap rasa sukur,

"Alhamdulillaah..."

Ternyata suamiku. Kondisinya baik-baik saja.

"Loh, Mama, ngapain di situ? Bikin kaget aja," ucapnya sambil menutup pintu.

Aku tak menjawab dan masih berdiri mematung menatap ke arahnya. Tak tahu mau berkata apa. Padahal, berbagai pertanyaan memenuhi kepala.

Dia terus berjalan ke kamar. Akupun membuntuti.

Sesampainya di kamar, dia langsung membuka lemari dan mengambil sebuah peti dari sana.

Peti itu tidak terlalu besar. Tingginya hanya sejengkal. Panjangnya sedikit melebihi tongkat yang ada di tangan suamiku itu. Kemudian, tongkat segera dia taruh ke dalam peti. Lalu, peti kembali dia masukkan ke dalam lemari.

Ya, parang yang tadi aku sangka akan dia pakai bunuh diri itu memang terlihat hanya seperti sebatang tongkat ketika menyatu dengan sarungnya. Sangat mirip dengan pedang samurai pendek.

Aku tahu betul, memang cuma sekali setahun dia keluarkan parang yang sangat tajam itu, yaitu tiap hari raya qurban. Baru kali ini aku melihat benda itu berada di luar tempat penyimpanannya bukan pada waktu sebagaimana biasa.

"Pa, tolong ceritakan, ada apa sebenarnya?" ujarku dengan suara bergetar.

Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Padahal, sangat banyak pertanyaan yang ingin kuperoleh jawabannya.

Dia menarik nafas panjang, kemudian menghenyakkan diri di ujung tempat tidur. Sementara, aku duduk di kursi rias.

"Maksud Mama apa?"

"Ya segala keanehan ini, lah, Pa!" Sikap ganjil Papa sejak kemaren. Lalu, bawa-bawa pisau ke kamar Arumi. Trus, kejadian di bawah pohon sirsak barusan. Papa memegang golok, dan aku intip tadi seperti sedang melalukan sebuah ritual. Bahkan, terlihat seperti mau bunuh diri. Panik aku, Pa! Juga, kenapa semua pintu keluar Papa kunci? Banyak pertanyaan di benak Mama, Pa! Semua harus Papa jelaskan!"

Dia kembali menarik nafas panjang. Seperti bimbang.

"Baik lah, Ma. Sebelumnya, aku mau minta maaf dulu sama Mama."

"Maaf untuk apa?" selaku.

"Minta maaf karena tidak percaya pada semua cerita Mama. Aku malah cenderung meremehkannya. Namun, ternyata cerita Mama itu benar."

Pindah RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang