Tempat pertama yang kuperiksa adalah kamar depan. Ternyata tidak ada. Naomi sendiri saja di sana, masih tertidur.
Beralih ke kamar mandi, juga tidak ada. Pintu ke belakang pun terkunci.
Aku bergegas ke ruang tamu, kosong. Pintu depan juga sama, terkunci.
Aku periksa ke dapur dan gudang, sama saja.
Aku teringat kejadian dua minggu yang lalu. Jangan-jangan suami ada di depan pohon sirsak dan pintu belakang dia kunci dari luar.
Dengan langkah bergegas, aku kembali menuju pintu belakang. Aku singkapkan gorden untuk melihat ke arah pohon sirsak. Namun suami juga tidak ada di sana.
Ketika akan balik ke kamar, mataku terarah ke depan lemari televisi di ruang tengah. Aku langsung teringat, suami sering ketiduran di depan televisi. Biasanya kalau abis menonton sepak bola.
Lantai di depan televisi itu memang beralaskan karpet tebal. Sehingga, memang nyaman tiduran di sana sambil nonton TV.
Dari posisiku berdiri, pandangan ke sana terhalang oleh sofa set. Tidak terlihat jika ada orang sedang rebahan di sana. Di tambah pula lampu ruangan tengah itu belum nyala.
Ketika aku mau melangkah mendekat, tiba-tiba TV hidup. Aku terperanjat karena kaget. Ruangan menjadi sedikit terang karena cahaya yang memancar dari layar TV. TV menyala tanpa suara. Aku pencet stop kontak untuk menyalakan lampu.
Setelah ruangan terang benderang, aku terus mendekat. Ternyata benar, suami terbaring di lantai beralaskan karpet tebal di depan TV itu.
TV barusan tiba-tiba hidup sendiri mungkin karena remote yang tergeletak di lantai tertekan tak sengaja ketika tubuhnya berguling atau pindah posisi.
Aku terus mendekat. Setelah berada persis di samping sosok yang sedang lelap itu, aku terdiam. Teringat kejadian semalam. Benarkah ini suamiku? Atau..?
Aku menjadi ragu. Bulu kuduk merinding. Bingung harus bagaimana. Apakah harus aku panggil supaya bangun? Tapi, kemudian bimbang. Iya kalau sosok ini suamiku, kalau bukan? Jika ternyata adalah sosok yang semalam datang mendahului suamiku, bagaimana?
Jantungku terus berdegup kencang. Tetapi aku tak punya pilihan. Aku beranikan mendekat kemudian berlutut di sampingnya.
Perlahan aku dekatkan telapak tangan ke bagian mulut dan hidungnya. Terasa ada hembusan udara teratur, pelan dan hangat.
"Hmm, dia bernafas, dan nafasnya terasa hawa panasnya," gumamku sedikit lega.
Karena itu tanda-tanda sosok ini memang manusia. Keberanianku muncul.
Kembali dengan perlahan aku sentuh keningnya dengan punggung telapak tangan. Terasa hangat, sebagaimana suhu tubuh normal manusia.
"Alhamdulillaah," gumamku lega.
"Pa..Pa.., bangun, Shalat Subuh dulu," ujarku pelan sambil mengguncang-guncang bahunya.
Dia meggeliat, lalu duduk dan mengucek-ngucek mata.
"Eh, Ma, Aku ketiduran di sini rupanya, ujarnya sambil berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu.
*****
Selesai Shalat Subuh, kami duduk di depan TV ruang tengah.
"Gimana, Pa? Ketemu boneka teddy bear-nya Arumi?" tanyaku agak tidak sabaran.
Keberadaan boneka itu sangat penting. Sebab, semalam aku sudah membuktikan sendiri betapa sulitnya Arumi tertidur tanpa boneka kesayangannya itu.
"Semalam Aku periksa seluruh sudut rumah, Ma, tapi boneka itu tidak ditemukan.