Matahari sedang terik-teriknya, menggantung di tengah-tengah semesta. Tepat ketika aku berjalan sendiri tanpa Laras dan Monita. Mereka agaknya sibuk dengan urusan PMR, sementara aku lebih memilih ke perpustakaan dibandingkan ke kantin. Mengapa? Sebab Arsana lagi-lagi tak muncul di balik jendela kaca. Terhitung sudah dua hari dia tak nampak batang hidungnya, berjalan ke kantin dengan lukisan tawa.
Semalam, saat manusia nokturnal ini sedang menyelesaikan Max Havelaar, sosok Arsana mengirim pesan lagi padanya. Sekedar mengatakan, "Sungguh mulia hati Kartini, membuka emansipasi, sehingga dapat melahirkan perempuan nan anggun dan cantik sepertimu." Aku tidak tersipu, aku bukan Kartini Manoppo atau Hartini, bukan pula Fatmawati atau Haryati, tentu bukan Yurike Sanger atau Heldy Djafar, sudah pasti bukan Ratna Sari Dewi, justru tertawa dibuatnya. Seorang Lia tak pernah lahir dari seorang Kartini. Aku lahir dari rahim Ibu Marita, bundaku.
Sebenarnya, jauh sebelum RA. Kartini menulis kegelisahannya, sudah ada perempuan-perempuan yang melaksanakan apa yang dilaksanakan laki-laki sebagai gambaran kecil emansipasi. Misalnya: Cut Nyak Dien yang sudah ikut berperang, Dewi Sartika sosok intelektual sebelum Kartini, Martha Christina Tiahahu pahlawan perempuan dari timur yang lahir tahun 1800 dan sudah berperang di usia 17 tahun untuk melawan Belanda, gugur tahun 1818, serta masih ada lagi yang tak banyak dikenal oleh anak-anak muda zaman sekarang. Jauh sebelum Kartini, sosok perempuan hebat itu ada.
Akan tetapi, harus aku akui, Kartini lah yang semakin membuka mata tentang emansipasi. Melalui surat-suratnya yang kemudian dikumpulkan dalam buku Door Duisternis Tot Light atau dalam terjemahannya Habis Gelap Terbitlah Terang. Beliau benar-benar membuka mata banyak manusia dengan pemikiran intelektualnya. Andaikata tak ada Kartini yang menyempurnakan perjuangan perempuan-perempuan sebelum beliau, mungkin kita semua tidak hidup dalam kesenangan, bersekolah, mendapatkan pekerjaan yang kita mau.
Menginjakkan kaki kanan di perpustakaan sekolah, seorang penjaga berhijab lebar menyapaku dengan sesuatu yang sedikit lucu. Beliau mengucapkan, "Assalamu'alaikum, Lia. Barakallah fii umrik. Delapan belas tahunmu semoga lebih berkah lagi." Jelas saja aku celingukan, menoleh ke belakang, mungkin ada anak lain yang namanya Lia selain aku.
"Kamu, Lia," katanya menekan, cukup keras membuat beberapa orang yang sedang memilih buku menoleh ke arah kami.
Aku terkekeh. "Mbak Fat tahu dari mana saya ulang tahun hari ini?"
"Dari secret admirer." Mengeluarkan satu paket buku yang sangat tidak asing di mataku. Bentuknya, box-nya, cover-nya, warna-warna dan detailnya bahkan aku hafal. "Ini kado dari dia, ada suratnya di dalam. Tapi maaf, Mbak Fat udah baca," godanya mengajukan buku itu untukku.
Aku bingung. Untuk apa seseorang memberikan kado untukku sementara ulang tahunku sudah terlewat beberapa Minggu yang lalu. Tidak ada perayaan sama sekali, karena aku terbiasa tidak merayakannya sejak kecil. Ayah dan Bunda biasanya hanya membelikanku buku-buku langka di hari ulang tahun. Lalu sekarang, tidak di hari ulang tahunku tetapi aku mendapatkan satu paket buku Untuk Indonesiaku yang ditulis Bung Hatta sesaat sebelum hari wafatnya di tahun 1980. Buku yang satu paketnya terdiri dari 3 jilid. Jilid I berjudul Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Jilid II berjudul Berjuang dan Dibuang, Jilid III berjudul Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Sudah tiga tahun buku tentang biografi Bung Hatta itu ada di perpustakaan ayah. Aku hafal betul karena ada di rak spesial bersama Sukarno An Autobiography As Told To Cindy Adams. Di mana Cindy Adams adalah seorang jurnalis wanita asal Amerika. Kemudian buku fenomenal itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Ada pula dalam rak tersebut buku Alam Pikiran Yunani yang merupakan maskawin Bung Hatta untuk Rachmi Rahim, satu-satunya wanita yang dia cinta, tentu selain ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsana [Tersedia Di Shopee]
Teen FictionPukul 11.45 WIB adalah waktu di mana sosok Arsana muncul di balik jendela kaca. Bersama segerombolan siswa populer pada masanya. Aku suka menatapnya dari balik jendela, tak pernah berani menyapa meski seringkali jumpa pada sebuah acara. Arsana, dia...