A. 19 [Janji Arsana]

1.4K 258 14
                                    

Selamat pagi, waktu ternyaman ke dua setelah malam-malam yang sunyi untuk menghabiskan buku-buku sejarah. Selamat pagi juga, Hito, sahabat kekasihku yang baru saja menghentikan langkahku di depan gerbang sekolah. Ia memprotesku karena telah merubah Nino begitu banyak. Bukan, ini bukan menyangkut agama. Hito senang Nino bisa kembali melaksanakan salat. Satu hal yang Hito kesal dari hubunganku dengan Nino. Sejarah mulai menjajah kehidupan pertemanan mereka. Itu yang Hito katakan.

Ini masih pagi, tapi aku layaknya perusak hubungan orang yang sedang dilabrak oleh istri sah. Merasa bersalah, akan tetapi aku tidak salah. Aku tak pernah memaksa Nino untuk belajar sejarah. Jika ia merasa bosan harus berkencan denganku di perpustakaan atau ke tempat-tempat sejarah. Ia tak perlu melakukannya, cukup lakukan kegiatan seperti biasa, itu artinya ia memberiku ruang bersama buku dan aku memberikan ruang baginya untuk bergaul seperti biasa. Pasti ada saatnya kami dapat bertemu tanpa harus membaca sejarah.

Sayang, penjelasanku tak membuat Hito puas. Baginya, secara tak langsung aku mendikte Nino untuk menyukai sejarah, belajar sejarah, dan menggenggam sejarah. Hito hanya tak suka saat latihan band harus ada bahasan tentang VOC atau Para Pejuang. Band mereka seolah tak berjalan semestinya.

"Dulu selalu menyenangkan sebelum Nino mengambil keputusan ini, tapi sekarang seperti dijajah Belanda, Lia,"  katanya lagi lebih bernada memelas.

Aku menghela napas.

"Sebenarnya kamu membawanya ke dalam hal yang positif. Baru kali ini ada perempuan yang bisa merubah Nino. Ia yang bahkan tak acuh pada guru sejarah Indonesia sekarang berwajah manis di depan beliau. Dia tidak salah mengambil keputusan saat kami beri tantangan itu, tapi entah kenapa ketika berjalan kami merasa ada yang salah."

Menunduk untuk beberapa saat, memainkan kerikil kecil dengan kaki kananku. "Tantangan yang mana?"

Hito diam.

Mengangkat kepalaku, tersenyum, meski Hito nampak kaku. "Nanti aku bicara dengan Nino. Sejarah tak seharusnya meninggalkan kesan di masa sekarang. Agar sejarah tak senantiasa berstigma kaku dan kuno."

Mengangguk cepat, berpamitan pun cepat. Aku tahu ada yang salah dari ucapannya. Hanya mencoba tidak peduli.

Hari ini hari pengambilan rapor, sekolah lain mungkin tak diharuskan pergi ke sekolah. Hanya orang tua atau wali yang datang ke sekolah. Namun, ada pentas seni penutupan classmeeting hari ini. Nino tampil dan ia memintaku untuk duduk di paling depan. Tentu, aku menolaknya. Aku mau melihatnya di atas panggung, tapi tidak dengan di bagian paling depan. Selain itu, semalam Nino juga mengatakan bahwa sang Mama ingin bertemu lepas penerimaan rapor. Tentu saja sejak semalam jantungku sudah berpacu, semacam kuda balap di garis perlombaan.

Aku tak datang bersama Bunda seperti siswa-siswi kebanyakan. Bunda masih harus ke kantor untuk absensi. Toh, pengambilan rapor dimulai dengan rapat pukul 08.30 WIB ditambah jam karet yang tentu saja akan melar.

Kembali berjalan, kembali menyibak lembar demi lembar buku sejarahku, Bung Tomo, Suamiku oleh Sulistina Soetomo atau akrab disapa Jeng Lies, cetakan pertama tahun 1995, kuambil dari perpustakaan milik Ayah rak tengah, diterbitkan oleh Sinar Hatapan. Tepat di halaman 28 saat ini. Aku menyukai kata-katanya.

"Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu. Kalau Bung Tomo berjanji kepada calon isterinya bahwa dia tak akan mengecewakan isterinya dan dia akan menyintainya sampai akhir hayatnya. Janji itu pasti akan kutepati. Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku."

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang