Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun,
melayang jatuh di rumput;Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;Sesaat adalah abadi,
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.Puisi karya Sang Maestro, Sapardi Djoko Damono tersebut nampak tepat untukku. Biar aku sejenak menetap di sebelah Nino, biar aku bahagia, sebelum ia menyapuku pergi layaknya perempuan-perempuan terdahulu. Bukankah tepat menurut kalian? Perempuan yang menerima seorang playboy sebagai pasangannya itu memiliki dua pilihan, merubah atau disapu sesudah bosan. Aku bersiap saja untuk disapu, kapanpun Nino melakukan itu. Tentu, aku juga bersiap untuk tidak merengek dan menangis pilu. Siap dengan segala risiko yang akan aku terima. Layaknya Inggit yang sudah menduga jauh-jauh hari bahwa suatu saat ia juga akan berpisah dengan Soekarno.
Apapun yang terjadi nanti, aku hanya perlu bersiap dan menikmati hari ini sebagaimana memori indah yang ingin kunikmati. Tak akan kulewatkan satu pun kenangan yang bisa kuciptakan. Tidak salah juga, kan, jika aku sedikit tak acuh dengan protes keras teman-temanku? Bahkan tak acuh pada anggapan orang tentangku perihal orang pintar yang menjadi bodoh karena cinta. Saat ini, boleh saja semua mengatakan aku bodoh, tetapi kalian mungkin juga akan mengambil keputusan yang sama apabila menjadi aku.
"Lia, semua anak sekolah hari ini geger di Twitter setelah melihat tweet Nino tentang genggaman tangan kalian," seru Laras masih menggebu.
Satu jam yang lalu aku berkencan romantis bersama Nino, membahas Indische Partij, Sumpah Pemuda, Organisasi-organisasi yang digawangi anak-anak muda pada masanya, hingga bagaimana akar-akar demokrasi tertanam di Indonesia. Bagiku amat menyenangkan, mendengar Nino menyampaikan pengetahuan sejarahnya, mendengar tawa kecil Nino saat aku tersipu olehnya. Sekarang justru berganti dengan ocehan dua temanku.
"Mereka saja yang sibuk mengurusi urusan orang lain, padahal hidup mereka lebih banyak masalah," balasku tak acuh.
"Ishhh, kita tuh baik ya mau mengingatkan kamu, Lia. Katanya tidak semua yang pintar akademik itu bodoh perihal cinta. Ini kenyataannya ada satu bukti lagi manusia bodoh. Kalau semua orang sepertimu, sudah tahu ada risiko besar tetap ditabrak. Untuk apa orang-orang diajarkan analisis risiko?" Laras kian menggebu di atas tempat tidurku, sembari meremas marah boneka beruang pemberian Ayah.
Menghela napas. "Kamu akan menyesal karena sudah mengatakanku bodoh perihal cinta, Laras."
"Tidak akan!"
"Kalian berantem terus. Ini ada yang lebih genting dari sekadar menasihati Lia," seru Monita yang berbaring di belakang Laras.
"Apa?" Laras menanggapi cepat.
"Wattpad yang selama ini kita agung-agungkan. Kisah fiksi yang selalu kita elu-elukan sebagai hiburan terbaik di dunia ini, kenyataannya ialah kisah realita yang dikemas serasa fiksi. Kamu tahu siapa yang menulis kisahnya?"
Aku tidak peduli. Jika mereka membicarakan kisah cinta Tan Malaka yang tak pernah berakhir di pelaminan atau mungkin kisah cinta Cut Meutia yang ditinggalkan suaminya bersama wasiat perjuangan, aku akan tertarik.
"Wattpad yang mana?"
"Bukan Arsana."
Dahiku mengernyit.
"Lia, ini mungkin kisah fiksi tak masuk akal. Menikah di usia muda dan kaya raya tanpa bekerja, tetapi kenyataan di dalamnya ini menjiplak kehidupan di sekolah," jelas Monita padaku.
"Maksudnya?"
Monita mendekatiku di depan meja belajar. Sirat jingga sang senja dari celah jendela kamarku mengiringi langkahnya. "Judulnya Bukan Arsana. Bukankah Arsana itu laki-laki yang kamu suka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsana [Tersedia Di Shopee]
Dla nastolatkówPukul 11.45 WIB adalah waktu di mana sosok Arsana muncul di balik jendela kaca. Bersama segerombolan siswa populer pada masanya. Aku suka menatapnya dari balik jendela, tak pernah berani menyapa meski seringkali jumpa pada sebuah acara. Arsana, dia...