A. 23 [Pak Dirman di Kala Swastamita Menggantung Diri]

1.4K 226 12
                                    

Pukul 16.49 WIB, saat swastamita menghias cakrawala, saat aku dan Bunda sibuk dengan berbagai macam sayuran, sosok Arsana itu muncul dalam gawai pintarku. Ia menyapa dengan suara berat seperti biasanya, ia lesu, hanya berusaha kuat. Aku ingin sekali mendengar keluh kesahnya, tapi ia masih enggan menyampaikan semuanya dengan dalih itu bukan urusanku, itu masalahnya, dan ia tak mau membebaniku.

Beberapa hari ini pun Nino bukan seperti Nino, justru lebih mirip Arsana dalam imajiku. Menciptakan asa hadirnya sosok Arsana yang nyata. Akan tetapi, aku tidak menginginkan Nino dalam kondisi tertekan semacam ini, meski tekanan mengubah pikirannya. Dulu yang terkesan acuh tak acuh, hanya bisa ha-ha hi-hi, dan selengekan. Sekarang kalimat-kalimatnya menentramkan. Ya, meski sejak mendekatiku, ia merubah banyak diksinya. Aku tahu, itu salah satu strategi mendapatkanku. Karena ia pikir, aku menyukai laki-laki formal yang kaku seperti robot.

"Oh, lagi masak. Ya sudah, nanti saja," katanya terdengar kecewa.

"Bisa kok sambil ngobrol, biasanya kalau masak sama Bunda juga sambil ngobrol, kecuali kalau sendiri. He-he."

Nino terkekeh. "Ya, kalau sendiri tidak mungkin ngobrol. Kamu tidak boleh gila dulu sebelum menebarkan ilmu ke generasi selanjutnya, Lia. Kamu aset negara paling berharga, ah, tidak, paling berharga untuk Bunda dan aku."

Tersenyum, tepat saat Bunda menoel lenganku. "Bunda dengar."

"Oh ya? Maaf, Tante. Nino tidak bermaksud, em, anu."

Bunda sedikit mendekat ke gawaiku yang ada di atas rak piring. "Nino, Bunda juga pernah muda."

"Jadi boleh merayu Lia ya, Tan?" seloroh Nino.

"Boleh, yang tidak boleh kamu lakukan adalah menyakiti Lia. Kalau sampai menyakiti Lia, Bunda penggal nih kepala Nino," balas Bunda diakhiri dengan tawa.

"He-he. Siap, Tante." Seperti meyakinkan tapi ucapan selalu tidak bisa digenggam.

Setelah berbincang dengan Bunda, mulai dari kegiatannya di rumah, kabar mamanya, hingga petuah Bunda padanya agar selalu sabar. Sekarang giliranku bercerita perihal Jenderal Besar Sudirman atau yang sering kita sebut dengan Pak Dirman.

Pertama yang kuceritakan ialah tanggal lahirnya pada 24 Januari 1916 di Bodas, Karangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Berbekal buku berjudul Guru Bangsa Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, cetakan pertama edisi revisi tahun 2008 yang diterbitkan oleh penerbit Ombak dan ditulis oleh Sardiman. Aku mulai juga dengan cerita-cerita masa kecil Pak Dirman. Beliau merupakan siswa Holland Inlandsche School yang biasa-biasa saja, tidak menonjol, hingga memasuki usia 20 tahun mulai memiliki sikap dewasa serta mendalami kepahlawanan dan penuh keberanian.

"Dikatakan ada kisah unik yang pernah dialami Pak Dirman, Nino. Beliau oetnah mendengarkan pidayo Ir. Soekarno saat berkunjung ke Cilacap, beliau mencoba masuk dengan sandal kayu yang sangat tinggi agar terlihat seperti orang yang lebih dewasa. Ada-ada saja Pak Dirman," jelasku tersenyum, duduk di teras karena Bunda dan Bibi mengusirku dari dapur.

Nino tertawa kecil. Entah itu lucu atau tidak baginya.

"Nino, kamu tahu. Pak Dirman itu pesepak bola loh. Posisinya back. Kalau back itu ngapain? Yang ngegolin?" tanyaku.

"Semua pemain kan juga bisa ngegolin, Lia. Tapi tugas utama back itu jaga pertahanan," jelasnya.

"Oh, kiper."

"Bukan, Lia. Ha-ha. Bukan, bukan kiper. Posisinya di depan kiper."

"Oh, tidak tahu."

Nino masih tertawa. Ya, tertawa lah, Nino. Meski aku harus terlihat bodoh di matamu.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang