A. 7 [Aku Bukan Rachmi Rahim]

2.1K 324 30
                                    

Selamat malam teruntuk manusia nokturnal yang terbiasa tajam di tengah bintang merangkai rasinya. Selamat malam teruntuk remaja pecinta wattpad yang memaksa bacaan dewasa sementara ia masih remaja. Tak ada salahnya kalian membaca hal-hal yang dewasa, tetapi tidak sesuai usiamu. Apakah kalian akan menikah muda? Atau melaksanakannya sebelum kata sah menghalalkan segala sentuhan? Baiklah, itu urusanmu dengan Tuhan, sebagaimana urusan surga dan nerakamu. Tak patutlah aku berbicara, mengomentarinya, dan bahkan berlaku nyinyir terhadapmu. Hal-hal semacam itu memang terkesan menarik di pandanganmu daripada cerita-cerita sejarah yang ceritanya seperti buku yang tak pernah tamat dibaca.

Malam ini aku memutuskan meninggalkan Max Havelaar, tinggal separuh lagi tetapi Untuk Indonesiaku pemberian Arsana nampak menarik. Aku membacanya mulai dari Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi yang secara garis besarnya disebutkan berisi tentang keluarga dan masa kecil Bung Hatta hingga beliau menuntaskan pendidikannya pada tahun 1930 di Rotterdamse Handelshogeschool (Sekolah Tinggi Dagang Rotterdam).

Sebenarnya, banyak kenyataan perihal Bung Hatta yang telah aku ketahui, seperti tanggal lahirnya pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, tempat yang pada masa penjajahan Belanda oleh penguasa disebut dengan Fort de Kock. Kemudian perihal ayahnya yang meninggal di usia 30 tahun, saat Bung Hatta masih berusia 8 bulan. Ada pula kenyataan tentang nama lahir yang sebenarnya Mohammad Athar, kemudian dipanggil dengan Atta. Bung Hatta memiliki seorang kakek yang dekat dengan beberapa orang Belanda yang berkuasa di Bukittinggi, beliau memanggilnya Pak Gaek. Aku juga tahu nama ayah kandung Bung Hatta yang tidak bisa beliau ceritakan, sebab beliau sendiri pun tidak memiliki kenangan bersama ayahanda, Haji Muhammad Djamil. Hanya saja, ibu Bung Hatta pernah berkata, "Engkau potret hidup dari ayahmu." Hal itu tertuang pada Untuk Indonesiaku jilid I: Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi halaman 19.

Hal-hal semacam itu pun sebenarnya sudah banyak diceritakan oleh guru sejarahku. Aku belum tertarik lagi membaca Bung Hatta, bukan aku tak menyukainya, hanya saja aku merasa butuh banyak waktu untuk mengenal Bung Hatta, dan aku belum sanggup dengan kesilapan cahaya yang beliau miliki. Kata ayah, Bung Hatta adalah buku yang tak pernah tamat untuk dibaca. Keteladanannya tak pernah habis.

"Lia, tidur, Sayang," kata Bunda dari tempat tidurnya.

Sejak ayah tiada, aku memutuskan untuk menemani malam-malam bunda yang terasa sepi. Meski bunda berulang kali mengatakan ia tak pernah merasa kesepian karena ayah selalu bersamanya, di manapun dan kapanpun. Aku tahu, tapi sorot mata bunda tidak bisa menipu.

"Iya, Bunda. Sebentar lagi," jawabku di balik meja belajarku.

"Baca apa sih?" Mendekatiku.

"Biografi tokoh Indonesia favorit ayah, Bung Hatta."

Bunda mengernyit. "Nampaknya ayah punya seri yang lama, tetapi bunda lupa disimpan di mana. Tunggu, tapi kenapa buku ini terlihat bersih, Lia. Seingat bunda, ada noda kopi di jilid pertama. Karena ayahmu mengantuk saat membacanya, tak sengaja menumpahkan kopinya."

Aku tersenyum. "Ini kado ulang tahun Lia, Bunda."

"Kado ulang tahun, bunda kok tidak tahu. Dari siapa?"

Tersenyum malu.

"Apakah anak bunda sudah jatuh cinta?"

Aku mengangguk. "Hanya biasnya, Bunda. Dia playboy, angkuh, apa-apa sesukanya dia."

"Iya?"

Malam ini berakhir sekitar pukul 03.00 WIB, hanya untuk bercerita perihal Arsana dan Nino, seseorang yang biasnya membuatku jatuh hati dan seseorang yang kenyataannya membuatku kecewa. Bunda senang sekali mendengar ceritaku, tetapi beliau jadi kurang tidur, berangkat ke kantor harus dengan rasa kantuk yang terpaksa dibunuh kafeina. Aku tidak harus membunuh kantuk, sebab sudah terbiasa jarang tidur, kantukku datang di sore hari, sepulang sekolah hingga Magrib datang, biasanya.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang