A. 17 [Romansa Dalam Cinema]

1.5K 253 81
                                    

Riuh sorak-sorai suporter hampir memecah langit Semarang pagi menjelang siang ini. Bukan, bukan di stadion Jatidiri, melainkan di lapangan mini sekolahku. Sejak pagi tadi pukul 07.30 WIB, diadakan pertandingan futsal antar kelas, mengisi hari kosong sebelum penerimaan rapor. Pertandingan yang sedang berlangsung saat ini antara XI IPS 3 dan XI IPA 2, dengan skor 4 : 5 untuk keunggulan XI IPA 2. Sudah pasti riuh sekali sebab di antara pemain yang sedang berebut bola itu ada sosok Nino, idola sejuta umat. 

Sejujurnya, dibandingkan melihat orang berebut bola padahal mereka mampu membelinya, aku lebih suka di perpustakaan, membaca buku Hitam Putih Kekuasaan Raja-raja Jawa oleh Sri Wintala Achmad. Tapi, pagi ini Nino menghampiriku di kelas hanya untuk memaksaku menonton ia bertanding. Aku sudah menolak karena tak nyaman ada di keramaian, terlebih para perempuan tidak suka melihatku. 

"Ayolah, tanpamu aku tak bersemangat, Lia." Demikianlah yang ia katakan ketika membujukku. Dengan raut wajah tampannya yang memelas. "Bukankah yang terpenting adalah bagaimana aku menatapmu, bukan bagaimana mereka menatapmu? Ayolah!"

Aku duduk di tepi lapangan, menatap bosan. Berusaha untuk tidak peduli dengan tatapan aneh orang lain padaku. Aku juga mencoba mengalihkan pikiranku pada buku. Mulai membaca Sejarah Awal Kalingga dalam buku Hitam Putih Kekuasaan Raja-raja Jawa pada halaman 34. Meski ramai dan aku tak akan pernah bisa benar-benar berkonsentrasi. Aku memang tipe pembaca yang butuh sunyi untuk dapat mengilhami. 

Membaca begitu banyak tetapi yang kuigat hanyalah, mengacu pada sejarah awal pemerintahan, bisa dikatakan bahwa Kalingga berdiri tahun 648 dengan Kartikeyasingha, putra Sribuja (raja Melayu dari Palembang) sebagai pendiri Kerajaan Kalingga sesudah datang di Jawa. Hanya itu, sungguh, bahkan meski gerak tanganku sudah sampai pada halaman 47 sekarang. 

"Lia, bagaimana rasanya diterbangkan Nino setiap harinya?" bisik seorang perempuan, anak kelas XI IPS 2 sepertinya. Aku mungkin tak kenal banyak orang, orang-orang saja yang mengenalku karena aku terkenal sebagai sejarawan amatir di sekolah ini. 

Aku hanya tersenyum.

"Sebelum mendekatimu, Nino sering datang ke kelas menemui Kalista, temanku sekelas. Kamu tahu, kan?"

Mengangguk. Aku tahu karena Kalista adalah Pradani Ambalan yang akan segera purna tugas. Ia juga merupakan Komandan Peleton tim baris-berbaris sekolah ini. Patah rasanya mendengar Nino juga mendekati Kalista. Ia benar-benar perempuan idaman meski kalah cantik dengan Irish. Cantik dari perbuatannya jika boleh kupuji dirinya.

"Apa sih maunya Nino? Dari Sekretaris OSIS, Wakil Ketua OSIS, Pradani Ambalan, Pemenang Olimpiade, Atlet Voli, sampai Pecinta Sejarah, semua disikat. Seleranya tinggi, orang-orang pintar dalam bidangnya," selorohnya. "Btw, siapa yang menulis kisah Bukan Arsana, Lia? Kudengar tulisan itu banyak yang baca dan menyebutkan nama panjangmu."

Menelan ludahku. "Aku tidak tahu. Lagipula itu kisah fiksi saja. Mungkin yang nulis terinspirasi dari namaku."

Mengangguk-angguk.

"Lia," panggil Nino mendekat dengan peluh dan kausnya yang basah. "Minta minum."

"Nih!" Menyodorkan air mineral kemasan untuknya. 

"Tidak ada niat membukakan kemasannya?" godanya dengan kedipan mata. 

"Nino, semua mata tertuju ke sini. Malu."

"Ayolah, keburu main lagi!" 

Menghela napas, membuka kemasannya, menyodorkan lagi pada Nino. "Nih, pelan-pelan minumnya."

Nino tersenyum. "Ada tisu atau sapu tangan?"

Mengangguk. 

"Lap keringatku dong!" pintanya menyodorkan kepalanya. 

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang