Hari Selasa pukul 14.30 WIB, jam terakhir belum usai. Guru Bahasa Indonesia masih mendongeng, Juwita mulai menggelengkan kepala mengobati rasa kantuknya, dan Yogi, siswa paling bandel di kelas itu baru saja selesai menggambar poster berisi ajakan literasi di buku tulisnya. Akan tetapi, sosok Arsana sudah tersenyum manis di sela pintu kelas yang terbuka 20 cm. Ia sempat melambaikan tangan ke arahku, tetapi Rahyana dan kawan-kawannya yang tersipu. Seburuk apapun seorang Nino, ia tetaplah lelaki tampan yang memiliki banyak penggemar. Tidak perlulah diragukan ketampanan dan kharismanya. Terlebih, tak bisa dipungkiri, nama ayahnya sebagai anggota DPRD Provinsi turut menghias nama indahnya.
Tak jarang ia ke sekolah diantar sopir bersama adiknya atau membawa mobil sendiri tiga hari terakhir. Aku bisa mengintipnya di tempat parkir mobil. Ayahnya dulu seorang pengusaha, itu yang kudengar dari bunda dua hari lalu. Bunda mengenal ayahnya karena ayahnya sering datang ke kantor bunda untuk urusan pajak. Sekali lagi biarkan aku bertanya, perempuan mana yang tidak mau dengan sosok Nino?
Hari ini sesuai janji Nino, ia akan mengajakku ke Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Arahnya cukup berlawanan dengan rumahku, tetapi aku seperti Bung Hatta yang surga dunianya ialah perpustakaan. Tak apa terpenjara sepi, terkungkung kegelapan, asalkan bersama buku-buku kisah usang, duniaku terasa ramai dan terang. Maka sejauh apapun dan meski melawan arah, akan kutempuh demi buku.
"Ternyata seorang Lia tidak begitu serius juga ya dengan pelajarannya. Apa hanya dengan sejarah dia serius?" sambut Nino saat aku keluar dari kelas, paling belakang karena harus menyiapkan mental. Mungkin maksudnya karena berulang kali aku meliriknya di sela pintu.
Aku tidak menjawab, memilih untuk mendahului langkahnya menuju masjid sekolah. Azan Asar terdengar jelas tapi Nino nampak biasa saja. Saat aku salat, bahkan ia hanya berdiri di depan masjid. Setahuku agamanya Islam dan kupikir, dia juga selalu ada di sekitar masjid di jam-jam salat Zuhur.
"Nggak salat? Lagi PMS?" tanyaku sesaat setelah keluar dari masjid.
Nino diam.
"Sudah berapa lama PMS-nya?"
Diam lagi.
Memang yang paling sempurna adalah sosok Arsana dalam bayangku setiap malam, dengan silau cahayanya di balik jendela kaca. Nino bukanlah manusia sempurna seperti bayanganku, dia apa adanya dengan berbagai kekurangan dan kelebihan.
"Salat gih, sebelum hatimu jadi batu!" ketusku.
Aku mungkin tidak sesempurna perempuan-perempuan berhijab, menutup mahkotanya, tetapi aku tetap ingin menyembah Tuhanku, sebagaimana aku selalu merasa tenang di dalam sujudnya.
Sejenak Nino diam, barulah beberapa waktu kemudian dia bergerak kaku menuju ke tempat wudhu. Sempat pula aku mengintip bagaimana dia salat, mengapa wajahnya nampak ragu mengerjakan kewajiban setiap umat muslim? Mengapa harus ragu-ragu? Ia juga nampak kaku mengerjakan salat. Sejauh itu kah sosok Nino dari Tuhan?
Selesai Nino melaksanakan salat, kami berjalan canggung ke tempat parkir mobil, ternyata ia mengendarai mobilnya hari ini. Mobil dengan plat nomor Semarang, berwarna hitam, nampak mewah.
"Aku naik angkutan umum saja, Nino," kataku ketika dia membukakan pintu mobilnya. Kupikir dia membawa motornya atau apalah.
"Kenapa? Aku sudah punya SIM A kok."
Menggeleng. "Bukan mobilmu."
"Mobilku kok."
"Yang beli ayahmu?"
Nino mengangguk.
"Aku tidak mau menggunakan fasilitas yang ayahmu berikan untukmu. Aku mau naik angkutan umum saja, kamu bisa menungguku di sana nanti. Duluan ya," pamitku sebenarnya juga ingin melarikan diri. Jantungku bahkan masih tetap lancang dengan detaknya, meski ia telah dikecewakan oleh sosok Nino dari jarak dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsana [Tersedia Di Shopee]
Ficção AdolescentePukul 11.45 WIB adalah waktu di mana sosok Arsana muncul di balik jendela kaca. Bersama segerombolan siswa populer pada masanya. Aku suka menatapnya dari balik jendela, tak pernah berani menyapa meski seringkali jumpa pada sebuah acara. Arsana, dia...