Tak habis-habis kiranya 588 halaman Habis Gelap Terbitlah Terang. Ini sudah hari ketiga aku bersama R.A. Kartini. Berkutat dengan bagaimana Kartini menyuarakan kesetaraan pemikiran, kebebasan bersuara, serta gigihnya ia memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Tak ada istilahnya Kartini meminta perempuan menghilangkan adab serta kodratnya sebagai perempuan. Beliau tetaplah seorang ibu meski hanya 3-4 hari mengurus sang putra, tetaplah seorang istri, tetaplah seorang anak, tetaplah perempuan bangsawan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat.
Sejujurnya aku pernah mendengar cerita dari ayah sewaktu masih SMP, ada anggapan bahwa surat yang kini terbit dan beredar, surat-surat yang diikat menjadi satu dalam Habis Gelap Terbitlah Terang itu sebagian besar bukan surat-surat asli Kartini, khusus surat-surat yang dikirimkan pada Abendanon. Kecurigaan ini digaungkan oleh sebab buku Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan J.H. Abendanon kala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan.
Hingga saat ini pun naskah asli surat-surat dari Kartini tidak dapat ditemukan, keluarga dan garis keturunan Abendanon juga sulit ditemukan di Belanda. Itulah mengapa beberapa orang berspekulasi demikian.
"Lia, kamu percaya Kartini wafat karena dibunuh?" seru Nino yang baru saja datang dari arah belakang. Saat aku sedang ada di kantin sekolah, sendirian, benar-benar hanya aku sebab siswa lain sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Hari ini pulang pagi, dikarenakan besok Ujian Akhir Semester.
Aku menutup bukuku. Berita itu sudah menggemparkan aku dan bunda tahun 2012 silam, saat buku Efatino Febriana yang berjudul Kartini Mati Dibunuh resmi dirilis dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kita. Tentu penuh dengan kontroversi, sebab ketika Kartini wafat, tidak ada catatan kematian, kala itu pun tidak ada autopsi, sulit untuk membuktikan hal tersebut secara kedokteran. Tetapi pada akhir bukunya Efatino Febriana tetap berkesimpulan bahwa kematian Kartini memang telah direncanakan.
"No comment," jawabku.
"Kenapa?" Nino duduk di sebelah kananku.
"Karena aku belum menyelesaikan buku ini, dan puluhan buku lain terkait Kartini."
"Aku juga sih, baru buku ini yang selesai semalam, hanya untuk mengobati rasa maluku dan tentu agar mendapatkan bahan pembicaraan denganmu."
Aku diam, kembali membuka buku berwarna putih di depanku.
"Tapi coba deh, kamu buka halaman 510. Kupikir, Kartini wafat karena dipingit, sungguh lah, cetek sekali sejarahku, Lia. Ternyata beliau menikah, dan saat itu beliau mengatakan beliau bahagia. Suaminya lah yang justru mendukung cita-cita Kartini untuk membuka sekolah wanita. Selama ini, apa coba yang aku pelajari?"
Tidak sama sekali kutanggapi kalimatnya, tetapi aku mendengarnya. Aku baru sampai pada halaman 457, tetapi ia sudah membicarakan halaman 510. Menyebalkan, bukan? Seperti saat kalian tertarik pada suatu film dan teman kalian sudah menceritakannya beberapa bagian, bahkan akhir filmnya.
"Tetapi, yang aneh adalah ini, pada halaman berapa, aku lupa. Kartini mengatakan pada Nyonya R.M. Abendanon bahwa itu ialah suratnya yang terakhir karena beliau sering sakit-sakitan. Tetapi di halaman 529, Rembang, 24 Agustus 1904, Kartini mengatakan demikian, 'Ibuku tercinta. Surat yang ibu terima belum lama ini ternyata bukanlah yang terakhir. Saya takut, sekarang ini boleh jadi juga sungguh-sungguh surat yang terakhir sebab saya merasa agak saya hampir tiba dengan cepatnya. Ibu, kemungkinan besar, cucu ibu lahir lebih dulu dari waktu yang semula kami harapkan.' Merinding aku dibuatnya, Lia."
Sungguh aku ingin menyumpal mulut Nino. Aku sangat menikmati setiap kata yang tertangkap oleh mataku, terucap oleh batinku, serta tersimpan dalam pikiranku. Tetapi seorang Gavin Nino Mahardika telah merusaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsana [Tersedia Di Shopee]
Подростковая литератураPukul 11.45 WIB adalah waktu di mana sosok Arsana muncul di balik jendela kaca. Bersama segerombolan siswa populer pada masanya. Aku suka menatapnya dari balik jendela, tak pernah berani menyapa meski seringkali jumpa pada sebuah acara. Arsana, dia...