BAB 17

199 21 0
                                    

Mobil Setiawan berhenti di depan sebuah rumah yang sederhana. Setiawan tetap menatap lurus ke depan meskipun dari tadi ada seseorang yang terus memanggil namanya.

Setiawan tersentak ketika sebuah tangan terulur menyentuh lengannya. Ia menoleh ke kiri. "Mas mau mampir nggak?" tanya Widya.

Setiawan tersenyum tipis lalu menggeleng. "Nggak. Sudah malam."

Widya melepas seat belt-nya lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Setiawan. Mencium pipi Setiawan.

Setiawan diam sambil menatap lurus ke depan. Tangan Widya menyentuh pipi Setiawan dan membuatnya menoleh.

Widya semakin mendekat. Reflek, Setiawan menjauh. Ia berdehem. "Kamu cepet masuk. Sudah malam."

Widya menghela napas. Tak lama, wanita itu pun tersenyum lagi lalu mengangguk. Ia turun dari mobil. "Hati-hati, Mas," ucapnya sambil melambaikan tangan.

Setiawan mengangguk dan tersenyum samar. Ia segera melajukan mobilnya menjauh dari pekarangan rumah Widya.

Setelah setengah jam menyetir mobil tanpa arah tujuan, Setiawan menepikan mobilnya.

Setiawan menyenderkan kepalanya. Pria berumur tiga puluh delapan tahun itu mengusap kasar wajahnya lalu menghela napas berat.

Apa yang aku lakukan ini salah?

Setiawan memandang ke luar jendela mobil. Sudah dua minggu ini ia tidak menemui istri dan kedua anaknya. Bagaimana kabar mereka pun Setiawan tidak tahu.

"Bentar ya nak. Ayah belum dapat uang. Nanti kalau udah dapat, Ayah beliin nasi sama ayam."

Setiawan menoleh ke kiri. Seorang bapak dan anak sedang duduk sambil berjualan mainan di trotoar. Tidak terlalu peduli, Setiawan kembali menatap ke depan.

"Aurel lapar, Yah. Mau makan."

Setiawan dengan cepat menoleh ke arah apa yang ia lihat tadi. Nama anak kecil itu seperti nama anaknya. Aurel.

Flashback on

Seorang gadis kecil berlarian ke sana kemari di halaman belakang rumahnya. Gadis kecil itu memakai gaun seperti seorang putri kerajaan dalam kartun yang sering ia tonton.

Tak lupa mahkota yang menghiasi kepalanya dan juga sebuah tongkat peri mainan di tangan kanannya. Hari ini hari ulang tahunnya yang keenam.

Setengah jam lagi, teman-temannya datang dan memberinya ucapan 'selamat ulang tahun'. Semua dekorasi sudah dirancang sesuai dengan kemauannya.

"Aurel!"

Gadis kecil itu berhenti berlari ketika namanya dipanggil. "Papa!" serunya lalu berhambur ke pelukan Setiawan.

Setiawan tertawa kecil. "Wah anak Papa cantik banget! Putri siapa sih?"

"Putri Papa!" jawabnya bersemangat.

"Aurel seneng nggak?"

"Seneng banget!"

Setiawan tertawa kecil melihat putrinya itu melompat-lompat saking senangnya. Putri kecilnya itu memeluknya lagi.

"Aurel sayang sama Papa. Sayang banget!"

Flashback off

Setetes air tak sadar turun dari sudut matanya mengingat sekarang putri sulungnya itu sangat membenci dirinya.

Setiawan bersandar pada stir kemudi. Kedua bahunya yang kokoh bergetar. Ia memukul stir berulang kali. "Maafin Papa Aurel..."

Sekarang, ia harus memperbaiki semuanya. Ia tidak mau kehilangan keluarga kecilnya.

Setiawan mengusap air matanya. Ia turun dari mobil lalu menghampiri anak dan bapak tadi. "Pak, saya mau borong mainannya."

Bapak penjual mainan itu membelalakkan matanya terkejut. "Beneran Pak?"

Setiawan tersenyum dan mengangguk. "Iya. Anak saya yang paling kecil suka banget mainan. Ini uangnya, Pak," ucap Setiawan lalu memberikan sepuluh lembar uang seratus ribuan.

"I-ini terlalu banyak Pak," ucap Bapak itu.

Setiawan kembali tersenyum. "Tidak apa."











🌿

Akhirnya sadar juga bapaknya Aurel😪

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

Aurel Arjun✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang