4. Rani

14 3 0
                                    

Untuk part author bikinin khusus untuk Rani :')

Seminggu telah berlalu. Namun Rani masih larut dengan pikirannya yang membuat hidupnya semakin kalut. Duduk dibalkon rumah, menatap langit luas tanpa bintang, di temani secangkir coklat panas yang diiringi nanyian syahdu. Membuat semua momori perjalanan cinta mereka terukir jelas di dalam benak Rani.

Saat-saat dimana Raiyanlah yang menjadi benteng kehidupannya, menemani malamnya walau hanya sebatas mendengar suara, menyanyikan lagu cinta yang sesuai dengan kisah mereka.

Saat dimana Raiyanlah yang mampu meyakinkah Rani bahwa dunia tidak sesempit yang dibayangkannya. Rani mengindap phobiphobia atau rasa takut terhadapa ketakutan. Dimana orang yang mengidap phobia ini akan merasakan ketakutan saat ia sedang merasa takut.

Menjadi kekasih Riayan saat itu bukanlah suatu hal yang mudah. Dulu ia hanya seorang yang di cap 'cupu' oleh teman sekolahnya. Dan secara tiba-tiba, seorang pangeran datang menyelamatkan kehidupannya. Seperti kisah dongeng masa kecil. Namun hidup memang tak sebahagia yang dibayangkan. Di balik indahnya hari-hari yang dirasakannya bersama Raiyan, banyak pula ocehan yang harus dihadapinya sehingga membuat phobia yang dialaminya semakin menjadi.

"Ck, dasar si cupu! Sejak jadi pacaranya Raiyan kelakuannya ngelunjak!"
"Dia itu ngak pantas jadi ceweknya Raiyan. Secara Raiyan ganteng, tajir, pintar, cowok populer. Lah dia? Cuma cewek cupu yang ngak tahu diri."
"Jangan-jangan si cupu pake ilmu hitam, ke dukun biar Raiyan bisa suka sama dia."

Masih banyak lagi perkataan negatif yang diterima Rani. Betapa rapuhnya ia saat itu. Namun Raiyanlah yang meyakinkannya untuk bangkit melawan phobia tersebut.

"Raiyan, aku takut. Semuanya gelap Rai. Aku rapuh, aku ngak kuat melawan semua ini. Mereka benci sama diriku sendiri, aku takut mereka nanti bunuh aku. Aku takut....hiks...hiks." Genangan air muluncur dengan derasnya membanjiri pipinya. Suhu tubuhnya seakan memanas, seluruh aliran darah rasanya mengalir ke otak, ketika ocehan, dan perkataan jelek itu sampai ke telinga Rani.

Seseorang yang berada disamping Rani saat ini, merangkul pundaknya dari belakang. Mulutnya tak henti bergerak, terus bergerak mengucapkan kata demi kata hingga menjadi kalimat yang mampu membuat Rani merasa lebih kuat dari sebelumnya.

"Jangan takut, kamu harus bisa melawan phobia itu, Rani. Kamu tidak bisa hidup selamanya bersama ketakutan itu. Kamu berhak bahagia. Kamu tidak serendah yang mereka pikirkan. Anggap ini langkah awal kamu melawan ketakutan itu."

"kamu janji akan selalu bersamaku? Menjadi benteng yang kokoh untuk melindungiku. Menjadi pondasi yang membuat rumah semakin kuat dan tidak goyah."

"Aku tidak bisa janji akan selalu bersamamu. Tapi aku akan berusaha ada untuk kamu. Jikapun nanti aku pergi, maka saat itu kamu akan menjadi orang paling bahagia didunia ini. Karna tidak akan ada lagi ketakutan-ketakutan yang menghantui kamu."

"kamu benar Rai, kita berpisah saat aku telah berhasil melawan ketakutan itu, dan semua itu karna kamu." Gumam Rani sesaat setelah mengingat kisahnya bersama Raiyan. Kenangan memori itu membuat bibirnya sedikit tersenyum. Senyuman disaat seperti ini sangatlah sulit diartikan. Apakah itu adalah senyum kebahagiaan ataupun kesedihan.

Malam-malam yang bintang lalui tanpa bulan hanyalah kehampaan. Berada dilangit lepas yang sangat luas, namun hanya sendiri ditengah malam, kesepian. Itulah yang bulan rasakan tanpa bintang. Hanya bulan yang selama ini mau menemani bintang. Lalu sekarang kemana perginya bulan?

Perlahan ia melangkahkan kakinya menuju meja belajar. Di sana ada sebuah surat dengan amplop warna biru. Sudah seminggu yang lalu amplop itu berada disana.

To Rani.
Dari Kantor Pos Terdekat.

Benteng akan tetap berdiri kokoh. Tak akan runtuh, maupun rapuh. Karna benteng sadar ada banyak orang yang harus dijaganya. Jika semen pembuat benteng tidak mampu merekatkan batu, lalu bagaimana mungkin benteng akan tetap berdiri kokoh?

Bukankah bulan dan bintang akan selalu bersama-sama? Lalu mengapa sekarang bintang meninggalkan bulan?

Bukankah rumah memerlukan pondasi agar tetap berdiri kokoh dan tidak rapuh?

Oh iya, aku lupa ternyata bintang sekarang sudah kuat seperti matahari, yang mampu menerangi bumi meski hanya sendiri. Yang cahayanya melebihi bulan yang kuatnya melebihi benteng.

Matahari tidak memerlukan bantuan dari siapapun untuk menjadi kuat. Cahayanya mampu menerangi semesta, serta memberikan kehidupan baru bagi orang yang telah usai dari tidurnya.

Tidak seperti bulan, untuk mampu bercahaya saja memerlukan bantuan matahari. Tidak seperti benteng yang menjadi kuat karna bantuan semen dan hanya mampu melindungi orang yang ada didalamnya.

Tidak pula seperti pondasi yang letaknya dibawah. Matahari jauh lebih tinggi letaknya, bahkan sangat tinggi. Tak ada yang mampu mencapainya.

Selamat karna sudah tidak rapuh lagi dari Kantor Pos Terdekat.

Rani larut terbawa suasana. Perlahan air mata kembali membasahi wajahnya, untuk kesekian kalinya. Setelah membaca goresan kata dari Raiyan yang ia temukan secara tidak sengaja di lapangan basket beberapa hari yang lalu, saat Rani dihukum untuk memilih sampah karena telat datang ke sekolah.

Apakah yang Rani lakukan ini salah? Ia sangat mencintai Raiyan, karena itulah ia menjauhinya. Jika ia memang benar mencintai Raiyan, lalu mengapa Rani memutuskan masalah yang menyangkut perasaan seseorang secara sepihak. Bukankah ada dua hati yang terlibat disini. Bukankah seharusnya Rani membicarakan masalahnya kepada Raiyan, dan mencari jalan keluar bersama-sama, seperti dulu lagi?

Ya, besok pagi Rani akan menarik perkataannya kemaren.
Ah dasar hati, tidak konsisten dengan jalan yang sudah dipilihnya. Sungguh ambigu!

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu.
Tingkat keimanan seseorang itu berbeda-beda ya. Maklumin aja alir ceritanya.

Happy reading, readers❤ Semoga ada yang baper, hehe.

Jangan lupa vote, comment, and share.

Jum'at, 10 April 2020
Wattpad : HanifahAdha

Garis TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang