Sudah 3 minggu berlalu dan aku masih menggantungkan perasaan Mingyu. Aku tahu Mingyu masih menungguku, anak itu tetap seperti biasa, memberikan perhatian sebisa mungkin kepadaku. Hubungan kami agak membaik, karena akhirnya ia bisa diajak bercanda seperti hari yang lalu.
Dan selama 3 minggu ini, aku dan Mingyu sibuk membuat RAB untuk persiapan divisi dekorasi untuk event pameran unit fotografi. Jangan ditanya, tiap hari kami pasti bertemu. Bukan untuk kencan (ugh ini tidak mungkin), nugas atau sekadar bertemu, tapi untuk rapat.
Memang, acaranya baru akan dilaksanakan 3 bulan mendatang. Tapi karena ini acara besar yang tiap akhir semester dilaksanakan, kami harus melaksanakannya dengan penuh persiapan yang matang. Apalagi kali ini si ketua mau mengundang beberapa fotografer senior.
"Mau makan dulu, nggak?" Mingyu bertanya sembari menaruh tasnya di sampingku.
Kini kami berdua sedang menunggu anggota divisi untuk melaksanakan rapat di sebuah ruangan kelas kampus yang berhasil kami pinjam selama 2 jam ke depan.
"Makan siangnya kan nanti, masih ada 2 jam lagi." Kataku sembari melihat jam tangan.
Mingyu mengerucutkan bibir. "Kamu emangnya nggak mau ngemil dulu?"
Aku menggeleng, yang ada aku merasa mengantuk harus rapat di pagi hari.
"Mau nitip?" Tanyanya, aku kembali menggeleng sembari menyandarkan kepala di atas meja.
Ia tersenyum kecil, perlahan tangannya meraih kepalaku dan mengelusnya dengan lembut. Aku jadi tambah mengantuk.
"Ngantuk, ya?"
Aku tidak menjawab, malah ku tutup mataku dengan rapat. Elusan tangannya membuatku tidak tahan untuk tidur. Gila. Di pagi begini biasanya aku masih tidur, bangun di kala siang untuk mempersiapkan peralatan yang biasa aku bawa ke kampus.
Selama beberapa menit aku masih merasa tangan Mingyu berada di atas kepalaku. Karena tidak ada suaranya aku segera membuka mata, mendapati wajahnya yang ikut berbaring di atas meja. Ia menatapku lembut.
"Maaf, ya, aku nggak ada pilihan lain untuk ngadain rapat sekarang." Katanya membuatku ingin memeluknya, iya, ia terlalu uwu.
"Calm down, aku begadang semalam, jadi ngantuk begini." Bohongku, meski sebenarnya aku ingin menyetujui rasa bersalahnya tadi.
Tangannya bergerak menuju pipiku. Ia mengelusnya pelan. "Tidurlah, aku bakal bangunin kalau rapatnya udah mau mulai."
Aku terkekeh pelan. "Nggak, aku hanya baring sebentar aja. Sana! Katanya mau beli sarapan?"
Dia menggeleng. "Aku ga jadi lapar."
"Bego." Kataku sembari menyingkirkan tangannya dari pipiku, tapi Mingyu malah menarik tanganku.
Ia mengelus tanganku lembut, kami bertatapan cukup lama dan tidak ada niatan untuk mengeluarkan kata sepatah kata pun.
Tuhan, apa yang telah Engkau rencanakan?
"Jadi, apa kamu sudah punya jawabannya?"
Aku tahu, ini akan terjadi sehingga aku tidak begitu terkejut dengan pertanyaannya.
"Aku nggak tahu, Gyu." Jawabku singkat, mencoba lari dari tatapannya, tapi sulit karena pria itu ada di hadapanku.
"Kenapa?"
"Aku takut."
"Takut?"
"Ya, takut kalau misalnya hubungan kita nggak berlanjut, aku dan kamu ga bisa kayak dulu lagi."
Mingyu menghela napas. Ia meraih beberapa rambutku dan menaruhnya di belakang telingaku. "Aku nggak tahu soal masa depan, tapi kalau kita nggak coba, kita nggak bakal tahu. Aku... aku udah lama suka sama kamu." Katanya dengan nada yang sangat lembut.
Aku ingin mencair saja huhuhu. Aku bingung harus meresponnya bagaimana, karena dia ada benarnya dan pernyataannya di akhir kalimat membuatku mematung.
"Kamu yakin?"
"I do with all of my heart." Singkat jawabnya tapi masih membuatku berpikir soal perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya.
Aku menyipitkan mata, "aku nggak tahu, Mingyu. Aku takut soal perasaanmu kepadaku."
"Takut bagaimana?" Tanyanya menjaga nada yang masih terdengar lembut di telingaku.
"Aku nggak tahu, tapi di mataku, kamu... masih seperti... pria yang mempermainkan wanita? Em... bukan maksudku, tapi, kau tahu, I've seen you with some girls and I--"
"Aku cuma cinta sama kamu."
Refleks aku mengunci mulut. Wajahnya tampak serius. Ia meraih tanganku, menciumnya dengan lembut.
"Aku nggak tahu, seberapa buruknya aku di matamu. Tapi aku ingin kamu mengingat kembali, kapan terakhir aku dekat dengan perempuan yang kamu maksud."
Dengan susah payah aku berusaha mengalihkan pikiran dari wajahnya yang tepat berada di hadapanku. Memang benar, terakhir kali ia dekat dengan perempuan cukup lama. Saat kami baru berkenalan, lepas itu ia jadi lebih sering berkumpul denganku dan Minghao.
"Ingat?"
Aku mengangguk.
"Masih tidak percaya padaku?"
"Let me be honest, aku nggak tahu ini pikiranku atau memang rasa insecure-ku menguasai. Tapi aku benar-benar bimbang tentang perasaanmu, Mingyu."
"Bagaimana kamu bisa insecure kalau perempuan yang aku dekati hanya kamu?"
Aku kembali mematung. Apakah itu benar?
"Kamu punya perasaan padaku, kan? You feel insecure because you were afraid with bunch of girls out there? Kamu takut cemburu, kan?" Mingyu memberondiongiku dengan tanya sembari tersenyum lebar.
Aku rasa wajahku memerah sehingga aku langsung menyembunyikan wajahku dengan menangkupkannya di atas meja. Sial. Kenapa sih, malah langsung menarik kesimpulan begitu
"Hei," aku dengar Mingyu memanggil, dari nada suaranya aku tahu ia pasti sumringah.
"Hei!" Ia memanggilku kembali dengan sedikit terkekeh. Tangannya berusaha melepaskan kedua tanganku dari wajah.
"Jadi, gimana?" Tanyanya lagi. Aku mengelak.
"Hitungan ketiga, aku peluk, ya?"
"Jangaann!!" Pekikku sembari duduk dengan tegap.
Mingyu tertawa di hadapanku. Ia menarikku ke dalan pelukannya sembari mengelus kepalaku dengan lembut.
"Sekarang kamu pacarku, ya?"
"Siap--"
"Protes?" Ia mengeratkan pelukannya, aku jadi menyerah. Lelah juga membalas kejahilannya.
"Nggak."
"Mulai hari ini kamu officially pacarku, ya."
Aku berdehem saja. Apa yang harus ku katakan? Iya, aku menyerah saja. Toh, mungkin ia benar kalau aku hanya insecure saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Mingyu My TTM (Temen Tapi Mesra) [Complete]
Fiksi PenggemarFiclet menggelikan ajalah. Biar masa isolasi menyenangkan.