1. Awal Bermula

2.8K 100 6
                                    

Suasana pesta sungguh meriah. Bunga-bunga menghiasi disetiap sudut ruangan di gedung ini. Para tamu undangan datang silih berganti. Aneka menu tersaji di meja. Semua orang bebas memilih, sepanjang waktu yang telah ditentukan, pukul dua belas siang hingga lima sore.

Kedua mempelai yang duduk bersanding di pelaminan juga tampak serasi. Cantik dan tampan. Senyum dan tawa bahagia terpancar saat menyalami satu-persatu tamu yang hadir. Mengucap syukur atas hari yang penuh berkah ini. Sejak akad hingga resepsi semua lancar tanpa kendala berarti.

"Gak usah cemberut gitu, bentar lagi kamu nyusul." Suara seorang lelaki berbisik di telinga Hayu, membuatnya kaget dan menoleh ke belakang.

"Aaaaa ...."

Gadis itu berteriak kencang, kemudian menutup mulut, malu terdengar orang-orang. Dasar bocah, hampir saja bersentuhan. Wajah mereka ternyata dekat sekali.

Hayu tak menanggapi ucapan tadi dan kembali duduk tenang menyaksikan acara berlangsung. Di tangannya ada sepiring snack dan buah Untung saja tidak tumpah, itu mengagetkan saja.

"Mbak cantik, deh," bisik lelaki itu lagi.

"Kurang asem nih anak." Dalam hatinya mengumpat.

Sedari tadi lelaki itu menggoda terus, mungkin kurang kerjaan. Coba dia bantu-bantu angkat piring atau bersihkan atau gelas plastik bekas minuman yang berceceran di lantai. Kan kotor itu, bikin tidak nyaman dipandang mata. Acara di gedung mewah begini, tamunya jorok, buang sampah sembarangan.

"Mbak, sombong. Awas aja!" kata Aksa, nama lelaki itu.

"Dia mengancam rupanya. Siapa takut?" rutuk Hayu.

Lelaki itu berjalan menjauh menuju ke depan. Mata cantik Hayu masih melirik ke arah mana dia berjalan. Eh, kenapa malah menuju meja papa mama berada dan mencium tangan mereka? Lalu, tangan besar itu menunjuk ... ke arahnya.

Hayu membuang muka, pura-pura tidak melihat. Bocah ini nekat. Mengapa malah mendatangi orang tuanya? Mama dan papa terlihat senang, bahkan beberapa kali tertawa sembringah. Entah berbicara apa, dia juga tidak tertarik untuk mendengar.

"Hayu, ayo ke depan, pagar ayu sama pagar bagus mau difoto sama manten."

Seseorang memanggil. Dia meletakkan piring di kursi. Harusnya ikut duduk di meja khusus pendamping pengantin. Hanya saja, karena si bocah itu terus menganggu sejak tadi, maka dia berpamitan untuk mengambil makanan dengan alasan lapar untuk menghindar.

Ternyata dia malah mengikuti, mengambil tempat duduk persis dibelakang. Lalu mengajak bicara yang tidak penting, juga menggoda dengan rayuan gombal. Sungguh, Hayu mual mendengarnya.

Gadis manis itu bergegas menuju panggung bersama dengan yang lainnya. Ada lima pasang yang didaulat sebagai pagar ayu dan pagar bagus. Dia, beberapa sepupu, termasuk si bocah itu salah satunya. Selama acara lamaran tidak pernah tampak, tahu-tahu muncul sehari sebelum gladi bersih.

Mereka berdiri berderet dengan rapi. Pagar ayu di sebelah pengantin wanita. Pagar bagus di sebelah pengantin lelaki. Hayu harusnya bernapas lega karena sebentar lagi acara akan selesai. Memakai kebaya dengan sanggul ini membuat napasnya sesak, sekalipun banyak yang memuji kecantikannya. Nasib jomlo, harus menerima saat namanya dipilih eyang putri. Melawan? Itu berarti tanda tidak hormat kepada orang tua.

Ceklek!

Sesi foto-foto terakhir selesai. Sejak tadi acara dimulai, mereka hanya diam menyaksikan semuanya. Makan, berfoto-foto, atau beramah tamah. Bagian yang terakhir itu yang sama sekali dia tidak suka. Malas berbasa-basi.

Pertanyaan mereka selalu sama. "Kapan Hayu nyusul? Sudah pantes kok, cantik, sukses, ayu begini sesuai namanya. Ayo, jangan pilih-pilih."

Siapa yang milih? Memang belum bertemu yang cocok. Apa harus dipaksakan? Haruskah dia menerima lelaki sembarangan untuk dijadikan suami demi status? Nanti malah menyusahkan kalau akhlaknya tidak baik. Bukannya menafkahi istri, malah menzolimi.

"Aku pamit, ya. Udah, kan?" Hayu menyalami Tina, sepupunya, sang mempelai wanita. Dia terlihat cantik dengan baju adat.

"Iya. Kamu pulang aja." Mereka berpelukan erat, kemudian mencium pipi kiri dan kanan.

"Kok Ayu buru-buru?" tanya Bagas suaminya.

"Aku kurang sehat, Kak. Pusing."

Semoga alasan itu bisa diterima. Sebenarnya dia tidak berbohong, memang rasanya tidak nyaman memakai sanggul ini. Rambut menjadi kaku. Kepala berasa kebas. Belum lagi segala macam jepit besi yang ditancapkan. Ada satu tadi yang menusuk kepala, si juru rias mungkin tidak sengaja. Tapi kan, rasanya sakit. Dia berasa seperti Suketi yang dipasang paku di atas kepala. Hiiiii ....

"Kamu pulang aja, sana. Istirahat. Eh, besok masuk kerja, ya?" Tina bertanya.

"Iya."

"Sudah, sana pulang," usirnya sambil bercanda, yang dibalas Hayu dengan tawa kecil.

"Pamit dulu, ya." Lalu dia menyalami Bagas dan mengucapkan selamat.

Dengan santai, Hayu berjalan menuruni tangga panggung. Sekilas sempat terdengar kata-kata yang dibisikkan Tina kepada Bagas.

"Hayu digangguin Aksa dari tadi. Mungkin dia kesel."

Kepalanya menoleh dan melihat mereka berdua tertawa geli. Ternyata, diam-diam dari atas pelaminan, sepasang pemgantin itu memperhatikan.

"Awas kau, Bocah. Cari gara-gara saja," rutuknya lagi.

"Pulang duluan, Ma. Pa." Dia menuju meja tempat orang tuanya duduk. Siapa saja yang dituakan, memang mendapat meja khusus.

"Yaudah hati-hati," jawab mamanya.

Gadis itu berpamitan dan mencium tangan kedua orang tuanya. Mereka tahu kalau dia besok masih bekerja, jadi tidak melarang jika mau pulang duluan.

"Jangan ngebut bawa mobil." Papa menasehati.

Sebenarnya, Hayu memang sengaja tidak mengambil cuti. Malas bertemu dengan keluarga yang lain. Sewaktu ditanya, bilang saja tidak di-approve atasan. Beres. Mereka? Percaya saja.

Dia masuk ke ruang ganti, mengembalikan semua baju dan perlengkapan yang tadi dipakai. Dibantu tim rias membuka sanggul.

"Aduh, sakitnya. Rasanya seperti rambut ini mau dicabut saja," keluhnya dalam hati. Bagaimana nanti jika menjadi pengantin benaran? Apa dia sanggup dibeginikan?

Setelah selesai semua, tangannya mengambil tas yang terletak di meja. Mengobrak-abrik isinya, dan melihat ada banyak pesan di ponsel yang masuk dan belum terbaca. Dengan cepat dia mencari kunci mobil, lalu berjalan keluar hendak pulang.

Hampir mendekati pintu keluar gedung ketika sebuah tangan menarik lengannya.

"Apaan, sih?" Dia meronta. Berusaha melepaskan.

"Buru-buru, Mbak?" tanya Aksa.

Eh, tenyata si bocah tengil ini. Mau apalagi dia?

"Aku mau pulang," jawab Hayu ketus.

"Barengan, yuk."

"Aku bawa mobil," tolaknya halus.

"Tinggalin aja, nanti minta tolong Om Danu yang bawa." Dia menyebutkan nama papa Hayu. Pintar juga bocah ini berkilah.

"Papa kan, pulang sama mama," jawab Hayu lagi.

"Nanti Tante Sarah ikut sama mamaku, Mbak." Lelaki itu menyebutkan nama mama Hayu.

"Gak usah maksa!" Kali ini dengan nada yang sedikit keras.

"Udah ikut aja. Mau dianterin cowok ganteng kok nolak."

"Lepas, gak! Sakit tau!" Dia masih berusaha menarik tangan.

Ternyata, tenaga bocah ini kuat juga. Dia malah memegang kedua lengan gadis itu dan menyeretnya menuju parkiran.

"Lep--" Kata-kata gadis itu terhenti saat ...

"Kalian lagi ngapain?"

Mereka membalikkan badan. Tampaklah papa Hayu berdiri tegak dihadapan. Di sebelahnya ada mama yang terlihat syok.

Hayu ketakutan. Sementara lelaki itu malah sengaja mencari kesempatan. Saat dia lengah, Aksa malah menariknya ke dalam pelukan. Tanpa sungkan, di depan kedua orang tua itu.

"Aksa. Kamu jangan kurang aj--"

"Saya siap bertanggung jawab, Om."

Eh, tunggu dulu. Ini maksudnya apa coba? Memangnya mereka berbuat apa?

Get Married [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang