Malu-malu

830 49 0
                                    

Hayu mengusap lembut bibirnya dengan jari sebelum mengoleskan lipstik, teringat akan sentuhan Aksa kemarin malam. Suaminya begitu berhasrat. Sementara dia sendiri tak bisa menolak walaupun rasanya itu sedikit ... aneh.

Setelah makan malam, dia meminta menginap di kamar mama dengan alasan kangen. Kebetulan juga papa belum pulang, jadi mama tidur sendirian.

Pagi-pagi dia bangun dan kembali ke kamarnya karena harus bersiap-siap berangkat bekerja. Untungnya Aksa tidak mengunci pintu. Ketika dia masuk, lelaki itu tidak tampak di dalam. Saat terdengar bunyi gemericik air, Hayu tahu kalau suaminya sedang berada di kamar mandi. Cepat-cepat dia mengganti pakaian karena tadi sudah menumpang mandi di kamar mama.

Ceklek!

Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Aska keluar dengan menggenakan boxer sambil mengeringkan rambut yang masih basah. Dengan santai dia berjalan melewati istrinya dan membuka lemari mengambil pakaian.

Hayu yang melihat suaminya shirtless begitu, berpura-pura sibuk berdandan dan menggelung rambut panjangnya ke atas. Sekilas sempat melihat tubuh gagah itu, kemudian menunduk malu. Aksa tidak bertubuh sixpack dan berotot seperti olahragawan, tapi juga tidak gendut. Kulitnya sawo matang dengan rambut yang dipotong rapi. Tak setampan Bayu, tapi menarik juga.

Lelaki itu melirik istrinya berkali-kali, kemudian dengan cueknya memakai baju.

Masak, masak sendiri,

Makan, makan sendiri,

Cuci baju sendiri,

TIDUR sendiri.

Dia berdendang sambil memakai kemeja, celana kain, kemudian menyempurnakan penampilan dengan gesper. Sengaja tadi mengeraskan kata-kata 'tidur' untuk menyindir Hayu yang meninggalkannya sendirian di kamar kemarin malam. Setelah makan, dia memang naik ke atas duluan. Lama menunggu, istrinya tidak juga datang, akhirnya dia terlelap karena kelelahan.

"Ba-ju kamu nanti aku antar laundry pulang kerja nanti," ucap Hayu terbata.

Dia menjadi serba salah dan tak enak hati. Aksa pasti marah, tapi dia berpura-pura cuek seolah tak terjadi apa-apa.

"Terserah kamu aja," kata Aksa dengan sedikit keras.

Dalam hati menahan kesal karena tak diberikan hak setelah menikah, juga tak dianggap sebagai suami. Lama-lama dia merasa lelah. Segala cara telah dicoba untuk menyenangkan wanita itu dengan sikap yang baik, tapi hasilnya tetap sama.

Hayu terdiam, menyelesaikan make-up yang belum selesai. Setelah memoles pipi dengan blush-on, dia mengambil tas dan hendak turun ke bawah.

"Kalau kerja cantik banget dandannya. Nyenengin orang lain di luar, tapi suami di rumah diabaikan," sindirnya lagi.

Aksa juga mengambil ransel dan hendak turun ke bawah untuk sarapan. Hari ini ada mata kuliah hingga siang, setelah itu lanjut ke kantor. Begitulah aktifitasnya sehari-hari. Mungkin weekend nanti dia akan hang out keluar untuk refreshing. Entah pergi dengan Hayu atau teman-teman.

"Aku kerja buat cari uang. Emangnya suami aku ngasih nafkah? Masih kecil udah sok mau nikahin!" ucapnya tak kalah ketus.

Hayu merasa tersinggung dengan ucapan Aksa tadi. Sejak dulu dia memang selalu berdandan jika bekerja. Seorang sekretaris pemilik perusahaan ternama tidak mungkin berpenampilan asal-asalan, bukan?

"Maksud kamu?" tanya Aksa tak terima.

Entah mengapa dia menjadi emosi mendengar ucapan istrinya barusan. Dia merasa direndahkan karena memang belum memberi nafkah sejak mereka menikah.

Uangnya sudah habis untuk membeli mas kawin dan beberapa perhiasan sebagai hantaran pernikahan. Dia juga baru bekerja di kantor papa. Kemungkinan awal bulan depan baru mendapat gaji.

Hayu tak menjawab dan memilih keluar kamar. Namun langkahnya terhenti saat Aksa menghalangi jalan.

"Tadi bilang apa?" Lelaki itu mengulang pertanyaan. Tangannya terlipat di dada.

"Aku mau berangkat. Ini udah kesiangan," elak Hayu.

Dia semakin merasa tak enak hati setelah mengucapkan hal itu. Wanita itu menarik napas berulang kali, setelah itu mendongak menatap si jangkung di hadapannya ini.

"Aku memang masih kecil. Kuliah juga belum selesai. Suatu hari nanti, aku akan buktikan sama kamu apa artinya tanggung jawab seorang suami. Kamu boleh merendahkan aku untuk saat ini. Tapi, jangan nyesel kalau kehilangan," ucapnya, kemudian membuka pintu kamar dan keluar duluan.

Aksa berpamitan dengan Sarah tanpa memakan sarapan. Merasa sangat kecewa dengan sikap juga perkataan Hayu. Jika tahu jadi sakit begini, lebih baik mereka menolak pernikahan sekalipun dianggap melawan titah eyang. Tapi dia harus menerima konsekuensinya. Bukankah memang ini yang diinginkannya sejak awal?

Hayu menyuap makanan dengan tak berselera. Padahal menu hari ini kesukaannya. Bibik memasak bubur ayam lengkap. Ada juga roti bakar dengan berbagai macam rasa.

Sarah melihat gelagat aneh dari Hayu. Sebagai seorang ibu feelingnya cukup kuat untuk kasus seperti ini. Setahunya, pengantin baru itu akan selalu menempel kemana-mana, seperti dia dan Danu dulu.

Putrinya ini terlihat enggan jika berdekatan dengan suami sendiri. Biasanya, menikah karena perjodohan sekalipun, jika sudah halal, beberapa pasangan malah cocok dan lebih romantis karena baru merasakan madu cinta.

Namun anak menantunya ini berbeda. Entah apa yang terjadi. Sarah tahu jika Hayu sejak awal memang menolak perjodohan, bahkan secara terang-terangan mengatakan itu. Dia dan Danu berharap setelah sah, Hayu bisa belajar mencintai Aksa, tapi sepertinya akan sulit.

"Suami kamu kenapa? Kok buru-buru sampai gak makan dulu,' tanya Sarah.

"Itu ... ada kuliah pagi. Dosennya galak. Takut telat," jawab Hayu asal.

Padahal dia tak tahu apa kegiatan Aksa hari ini. Lebih tepatnya, tidak mau tahu dan tidak pernah bertanya. Mereka seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu kamar. Hidup berdampingan namun saling tak mengenali. Jahatkah dia? Mungkin iya. Tapi bukannya sejak awal Aksa sudah tahu bahwa dia tak menginginkan pernikahan ini.

Mereka juga sudah sepakat dan membuat perjanjian untuk hidup masing-masing. Lalu kenapa suaminya menuntut ini itu? Padahal dia sendiri tak minta dinafkahi atau diperlakukan selayaknya sebagai seorang istri.

Baginya, pernikahan ini hanya di atas kertas, untuk menyenangkan kedua orang tua dan keluarga yang lain, sekalipun dengan mengorbankan diri.

Kebersamaan kemarin malam itu anggap saja bonus buat lelaki itu. Dia tak merasakan apapun kecuali hasrat suaminya yang bangkit karena sentuhan.

"Kalian berantem?" tanya Sarah lagi.

"Eng-gak, Ma," jawabnya terbata.

"Jangan bohong. Mama tau." Sarah sedang mencari kebenaran dari mata putrinya.

"Udahlah, Ma. Jangan bahas itu," elak Hayu.

Hari ini akan ada banyak laporan menumpuk yang harus diselesaikan. Jika moodnya sudah buruk sejak berangkat, bagaimana nanti tiba disana dan menyelesaikan semua?

"Nak. Mama ngerti perasaanmu. Kalian masih adaptasi. Akan ada banyak perbedaan yang menjadi halangan. Mama cuma mau bilang satu sama kamu," lanjut Sarah.

Hayu mendongak, menatap mamanya dengan serius dan menyimak.

"Aksa itu anak baik dan bertanggung jawab. Kamu beruntung menjadi istrinya. Hanya mungkin belum menyadari."

Seketika jantungnya berdetak. Apa benar apa yang dikatakan mamanya tadi? Mengapa dia belum merasakannya?

Get Married [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang