•°•°•°•°•°• 🎬 •°•°•°•°•°•
Kali kedua aku tidak menemukan keberadaan Ima di rumah. Aku nyaris panik memikirkan banyak hal. Kulirik jam dinding, lalu buru-buru meraih ponsel hendak menghubunginya. Tapi kemudian pintu depan terbuka dan muncul muka riangnya dengan penuh kepuasan. Astaga! Jiwa shopping-nya sudah kembali. Aku lega dan turut bahagia, meski agak-
"Kenapa tidak minta diantar? Sebanyak itu?!" tanyaku terkejut menunjuk dua kantong belanjaannya.
Aku hendak meraihnya, tapi dia menyela dengan tergagap "A-aku bisa membawanya. Kau baru saja datang 'kan? Istirahatlah."
Mana mungkin aku setega itu. Dia tidak menyadari ekspresinya terlalu jujur? Maksudku, aku memang penasaran dengan apa yang dibelinya hingga sempat melirik, tapi jelas dia tidak ingin aku mengusik barang-barangnya. Aku mengalah, dan cukup membawanya masuk.
Pada akhirnya aku melihat kotak susu yang selama ini dia coba sembunyikan. Tapi hari itu juga, dia agak ceroboh. Aku mengembalikan benda itu secara sukarela ke tempat yang seharusnya ia berada. Tempat persembunyian.
—Aqsha Abbasyi
KAMU SEDANG MEMBACA
It's A Secret for My Wife (On going)
General FictionIt's A Secret for My Wife (Diary Version) Ini bukan sesuatu yang layak diperbicangkan sebenarnya, tapi aku menjelaskannya agar kalian tidak berprasangka buruk padaku. Meski aku tidak pandai mengungkapkan sesuatu. Ini akan jadi jawaban dari buku hari...