ST | Bagian Dua

102 15 0
                                    

Zayn POV

Hari ini hari pertama gue menjejaki sekolah tingkat 10. Ya, SMA. Gue memilih SMA Alaska sebagai tempat gue menimba ilmu nantinya. Ya memang bukan negeri, namun sekolah swasta yang cukup favorit yang membuat gue memilih SMA Alaska. Ditambah mayoritas muridnya cowok, membuat gue makin mantep buat sekolah di sini. Alasannya? Jujur, gue paling anti sama cewek. Maksud gue, anti sama cewek yang centil, kemayu, sok-sok an di imut-imutin, gampang nangis, pokoknya paling nggak suka, deh, sama cewek begitu!

“Zayn!” Panggil seseorang yang membuat gue menoleh kearahnya.

Dengan senyum secerah matahari, dia melambaikan tangannya ke gue sambil lari ke arah gue. Gue hanya membalas dengan senyum tipis dengan pandangan ke arah lain. Berusaha agar terlihat gue nggak kenal sama sosok yang menyapa gue itu. Bisa-bisa malu gue!

Bayangkan saja, sosok itu memakai pakaian yang begitu nyentrik sekali! Jaket berwarna hitam mengkilap serta kalung rantai dengan liontin dolar yang dipakainya sudah jelas semua orang akan salah fokus ke arahnya. Entah apa yang ada dipikirannya itu.

“Kita satu kelas, ya, ‘kan?” tanyanya yang membuatku mengangguk ragu. Dalam hati gue bertanya, memangnya satu kelas?

“Lo kelas X-IPA 1, ‘kan?” tanyanya lagi yang hanya gue jawab dengan anggukan.

“Horay! Gue bisa nyontek ke lo lagi kalo ulangan entar! Asik!” pekiknya girang.

Gue mendengkus sebal. “Makanya, gunain waktu buat belajar. Bukan mabar online terus! Otak isinya game ML doang, ‘kan, jadinya?” sindir gue.

Dia malah tertawa, garing. Gue semakin ingin pergi dari sini. Pasalnya seluruh siswa yang mulai masuk ke wilayah sekolah ini terus memperhatikan interaksi diantara kami. Sungguh, sangat mengganggu pandangan dan image gue, nih!

“Jauh-jauh, lo! Gatel gue deket, lo!” sindir gue sambil mendelik tajam.

“Ogah! Barengan lah ke kelasnya, ya? Gue malu kalo harus jalan sendirian,”cicitnya yang membuat gue ingin sekali meninju wajahnya yang diimut-imutkan itu.

Ya elah Bambang! Bisa malu juga, nih, makhluk yang ada di hadapan gue. Yang jadi pertanyaan, kalau malu, ngapain malu-maluin diri sendiri? Kuker? Atau gabut?

“Otak lo masih sehat?” tanya gue dengan nada dan tatapan menyindir.

“Se--, Zayn!” panggilnya yang tak gue gubris sama sekali.

Gue langsung berjalan menuju kelas, meninggalkan dirinya yang sedang mengumpat tak jelas itu.

“Tungguin Dedek Firman, dong, Abang Zayn!” teriaknya. Gue langsung memasang headset ke telinga, lalu memutar asal lagu yang ada di handphone gue dengan full volume. Bahaya, nih, kalau Firman  udah manggil gue gitu. Pastinya dia ngoceh nggak jelas yang buat gue sering merinding jijik kalau denger kata-katanya.

‘Nasib-nasib. Punya temen gini amat. Dah SMP malu-maluin, malah sekelas lagi waktu SMA. Dosa apa gue, ya?’ batin gue teriris.

***

Saat ini gue udah duduk di bangku gue. Bangku paling belakang dekat pintu keluar. Bangku yang paling gue suka dan tempat favorit gue.

Gue jelasin kenapa gue pilih bangku ini. Pertama, gue males jadi perhatian guru. Kedua, dari sini gue bisa ngamatin setiap orangnya. Mulai dari sifat sampai tingkah-tingkahnya. Ketiga, karena gue ini pinter, gue pengen jadi pinter yang tak terlihat. Mungkin bisa disebut, pinter yang tak dianggap. Ciaelah, kayak sinetron aja.

“Oy, gue duduk sama, lo, ya, Zayn? Males sama Firman,” ujar Jefri, teman SMP gue. Tubuhnya yang tinggi dan begitu atletis, membuatnya dulu sering menjadi incaran para siswi saat SMP. Kalau sekarang? Mungkin masih. Secara gue akui, dia memang tampan. Tapi masih tampanan gue, ya!

“Emangnya kenapa? Tuh, kasian Firman. Dah mau mewek,” ujarku sambil menunjuk Firman yang duduk di bangku depan gue.

Sumpah, muka Firman bener-bener buat gue muak. Mukanya digaya-gayakan kayak mau nangis sambil mengedip-ngedipkan matanya. Nonjok temen sendiri dosa nggak, sih?

Jefri mendesah berat. Dirinya tanpa permisi mendudukkan bokongnya di bangku sebelah gue sambil menyimpan tasnya di meja sebelah gue.

“Males denger ocehan Ibu-ibu kompleknya. Puyeng dengernya gue. Kalo gue mabar game, yang ada gue nggak akan fokus entarnya.” Gue terkekeh mendengar gerutuan dari Jefri.

“Ya udah, serah, lo,” putusku yang membuatnya memekik senang sambil peluk erat gue.

Dengan brutal, gue berusaha buat lepas pelukannya. Dan akhirnya berhasil! Gawat, ‘kan, kalau ada yang lihat? Bisa-bisa disangka gay atau pisang doyan pisang. ‘Kan, nggak lucu!

“Yah … kok, lo gitu, sih, Jep! Masa gue duduk jomblo gini? Lo nggak kasian sama temen lo yang udah jomblo dari lahir?” cerocos Firman sambil memasang wajah memelasnya.

“Jap, Jep, Jap, Jep! Lo duduk aja, tuh, sama Ethan. Dia cukup populer di kalangan cewek. Siapa tau entar nyantol satu ke lo,” ujar Jefri yang membuat wajah Firman kembali cerah. Saking cerahnya membuat gue bergidik ngeri. Gimana nggak ngeri, senyumnya lebar banget! Sampai-sampai kulit cabai yang nyangkut di giginya kelihatan.

“Lo bener! Gue cegat Ethan di pintu kelas, ah!” ujar Firman yang membuat gue mengernyitkan kening bingung.

“Mau ngapain, lo?” tanya gue dengan tatapan curiga.

Firman tersenyum malu-malu yang membuat gue merinding seketika.

“Zay, mukanya, kok, malah keliatan kayak mesum gitu, ya? Jijik sama merinding sendiri gue,” bisik Jefri yang membuat gue mengangguk setuju.

“Banyakin istighfar buat dua tahun ke depan aja. Temen kita pada sarap semua soalnya,” balas gue dengan berbisik.

“Jadi … buat apa lo nunggu Ethan di depan?” tanya gue sekali lagi.

“Mau gue booking, dong! Dadaaa!” ujarnya lalu pergi berlari keluar kelas. Mungkin menunggu Ethan tepat di depan pintu kelas.

“Astaghfirullah, punya temen gini amat!” ujar gue sambil mengelus dada sabar.

“Eh, Zay. Mabar, yok!” ajak Jefri yang sudah mengeluarkan handphonenya.

Gue langsung mengangguk setuju. Ketimbang bete di kelas yang rata-rata isinya belum gue kenal plus punya temen otak separo, keputusan main game online bareng dengan Jefri bagus juga. Lumayan, buat nambah skill main gue.

“Setan! Gue bakal bales, lo!”

“Ahh anjir! Kenapa gue kena terus!”

“Mati, lo! Mati, lo! Mati sana!”

“Bambang! Lo jalan ke sini, Zay! Gue yang berantas belah situ!”

Gue mendengkus sebal. Mulut Jefri ternyata nggak jauh beda dari Firman. Duh, mana gue lagi lawan rajanya lagi. Emang bener setan, nih, Jefri!

“Sial! Makan, tuh, tembakan! Makanya jangan berani lawan Jefri yang tampan ini!” pekiknya sambil menepuk-nepuk kasar pundak gue.

“SHIT!” pekik gue yang merasa sangat terganggu.

Dengan kasar, gue langsung memasang headset ke telinga gue. Bodoh amat, deh, Jefri mau ngoceh apa. Yang penting nggak ganggu konsentrasi gue.

Ya sallam. Ternyata temen-temen gue enggak ada yang bener. Yang bener di sini cuma gue doang, kan? Mimpi apa gue semalem Ya Allah.

End POV

*****


To be continued ....
Jangan lupa vote and comment-nya. Masukin ke perpustakaan biar enggak ketinggalan part selanjutnya.

Satu kata buat part ini?

Strange Taste [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang