Written by. Sheliu.
Segelas kopi berlogo Starbucks terulur ketika Neil baru saja memasuki lobby, yang sukses menghentikan langkahnya untuk melihat seseorang yang sudah berdiri di depannya. Tampak Ayle tersenyum manis dan begitu ceria, sama sekali tidak mengindahkan ekspresi dingin yang dilemparkan Neil.
Suasana hatinya memburuk ketika paginya diawali dengan kehadiran wanita ular seperti Ayle. Masih segar dalam ingatan bagaimana Ayle yang sudah begitu lancang menendang tepat di kedua testisnya tiga hari yang lalu. Bahkan, Neil sempat tidak mampu berdiri selama dua jam dan merasakan nyeri di sepanjang hari itu.
Salah satu asistennya, yaitu Romeo, langsung melapor pada kepala HRD atas tindakan Ayle yang dinilai tidak tahu aturan dan perbuatan tidak menyenangkan. Tidak hanya itu, Romeo bahkan menunjuk office boy dan dua orang staff admin yang ada di tempat yang sama untuk memberi kesaksian, tentang Ayle yang memaksa untuk masuk ke dalam ruangan meski sudah mendapat penolakan. Alhasil, wanita itu mendapat sanksi berupa surat peringatan pertama agar dirinya menjaga sikap, juga beberapa poin yang harus dituruti olehnya jika tidak ingin dipecat.
"Ini apa?" tanya Neil datar.
"Buat lu, eh, kamu," jawab Ayle dengan penuh percaya diri.
Satu alis Neil terangkat, tampak tidak terkesan dengan apa yang ingin dilakukan Ayle sekarang. "Untuk?"
"Yaelahh, terima aja sih? Ribet banget pake nanya-nanya! Niat baik nggak boleh dicurigain. Orang baik juga nggak boleh dicuekin," sewot Ayle.
Tanpa berkata apa-apa, Neil melanjutkan langkahnya dan melewati Ayle, enggan untuk melanjutkan obrolan yang tidak ada gunanya selain membuang waktu dan menjadi pusat perhatian di lobby karena sudah ada banyak karyawan yang tiba.
"Eh, tunggu dulu, jangan pergi dulu," seru Ayle dari belakang.
Sambil mendengus kesal, Neil mempercepat langkah agar Ayle tidak bisa mengejarnya. Senyum sinisnya mengembang ketika bisa mendengar keluhan Ayle dari belakang, tentang stiletto yang dikenakan, yang sepertinya susah payah dalam menyusulnya.
Neil tidak menggunakan lift umum yang biasa digunakan para karyawan untuk menuju lantai ruangan mereka. Dalam gedung itu, terdapat lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi para petinggi perusahaan. Sebagai salah satu kepala divisi, Neil memiliki akses untuk menggunakan lift khusus yang terletak di sayap kanan gedung.
Tidak ada antrian, justru begitu lengang dan menenangkan bagi Neil yang benci dengan keramaian atau kegaduhan. Mengeluarkan tanda pengenal dari saku jas, Neil menempelkan kartu pada sisi lift untuk membuka akses pintu.
Baru sempat masuk ke dalam lift, dirinya dikejutkan dengan Ayle yang memburu masuk tanpa permisi. Mata Neil terbelalak melihat Ayle yang bernapas terengah-engah dan bertelanjang kaki. Sepasang stiletto ditenteng di tangan kiri, segelas kopi masih di tangan kanan, dan tas tangan yang terkait di siku. Wanita itu benar-benar serampangan.
"Budeg atau apa sih? Dipanggil daritadi nggak nyahutin? Kaki gue sakit nih! Ck!" sewot Ayle sambil merengut cemberut dan kembali menyodorkan kopi itu. "Ini tolong diambil!"
"Saya nggak mau!" ucap Neil sambil menekan lantai ruangannya dan pintu lift pun tertutup.
"Apa susahnya sih terima segelas kopi dari gu...," ucapan Ayle terhenti, seperti teringat sesuatu lalu menggelengkan kepalanya. "Terima segelas kopi dari saya, N-, eh, Pak!"
Neil menoleh pada Ayle dengan tatapan malas. "Saya. Nggak. Mau!"
"Ck! Belum cobain kopi pesenan Ayle, jangan langsung nolak gitu. Pamali! Ini tuh Asian Dolce Latte, less milk, less ice, one and half pumps syrup, venti, and extra shot espresso! Dari pesenan aja, udah kedengeran ribet, kan? Rasanya? Nggak usah ditanya. Perfecto!" jelas Ayle antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST MAN CALLING (END)
RomanceWARNING : MATURE CONTENT 21+ In collaboration with Andien Wintari. ***** "Kalau ada yang nanya sama gue tentang apa yang membuat hidup ini berarti. Gue bakal jawab : Make up, baju branded, badan seksi, dan dipuja karena memiliki wajah cantik. But, w...