Written by. Sheliu.
Seharusnya Neil sudah berada di balik meja dan mengerjakan beberapa pekerjaan penting sekarang. Tapi lihat apa yang dilakukannya sekarang? Neil justru duduk di bangku mini bar, memperhatikan Ayle yang sedang membuat makanan di dapurnya yang tidak pernah terjamah olehnya.
Semua karena kiriman rekaman cctv oleh Zul tentang apa yang terjadi di lobby, juga keterangan dari seseorang yang adalah staff keamanan, yang memergoki Ayle tengah dipukul oleh pria tua yang katanya adalah ayahnya.
Itu saja sudah membuat Neil mengurungkan niat untuk ke kantor dan lebih memilih untuk kembali ke unit apartemennya. Dan yang lebih membuatnya tidak suka adalah Ayle menangis sendirian.
Apakah wanita itu selalu kesepian? Bagaimana mungkin dia bisa menjual diri di usianya yang masih sangat belia? Kemana orang tuanya? Dimana ibunya? Apa yang dilakukan ayahnya sampai harus membuat anak perempuannya menjajakan diri? Shit. Berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak, mulai menggelitik rasa ingin tahunya tentang wanita itu.
“Kenapa nggak mau jawab pertanyaan saya?” tanya Neil dengan alis terangkat, ketika Ayle tak kunjung memberi jawaban tentang bekas luka seperti sayatan di dada.
“Lu bayar gue cuma buat seks, bukan buat kepohin urusan gue,” jawab Ayle akhirnya, dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.
Benar juga, pikir Neil. Kenapa dirinya harus bertanya tentang urusan pribadi? Minatnya adalah pada seks dan kenikmatan yang bisa didapatkan dari tubuh Ayle yang molek. Tapi, lagi-lagi rasa kemanusiaan yang besar, membuat Neil merasa ingin tahu lebih banyak.
Ayle yang kini membelakanginya, masih dengan bra dan rok ketat yang membalut indah bokong bulatnya. Keisengan Neil hanya untuk mengalihkan perhatian Ayle, dan rasanya sudah cukup keterlaluan untuk membuat wanita itu terlihat memalukan.
Dia beranjak dari kursi dan segera menuju ke kamar, mengambil sebuah kaus dari dalam lemari. Kaus rollingstone berwarna abu gelap adalah kesayangannya dan dia membawa kaus itu keluar kamar untuk menghampiri Ayle.
Ayle tersentak kaget saat Neil sudah berada di belakangnya dan tampak bingung dengan Neil yang sudah memakaikan kausnya yang kebesaran di tubuh Ayle tanpa berkata apa pun.
“Kenapa lu pakein gue baju?” tanya Ayle sinis.
“Saya minta maaf kalau udah semena-mena sama kamu,” jawab Neil kalem, sambil menautkan rambut Ayle ke belakang telinga. “Kamu itu cantik, tapi sayangnya, kamu nggak bisa menghargai kecantikan kamu dengan benar.”
“Lu ngomong apa sih?”
“Saya memang bukan orang suci, tapi saya juga nggak sampai hati lihat orang sampai sengsara kayak gitu. Soal Papa kamu, nggak usah kuatir. Saya udah suruh pihak keamanan untuk mengenalinya dan melarangnya masuk, kalau dia sampai datang lagi untuk nyakitin kamu,” ujar Neil dengan lugas.
Mata Ayle tampak berkaca-kaca, tapi buru-buru dia mengerjap cepat dan berdeham. “Lu nggak usah repot dan kepo kayak gitu. Gue bisa urus diri sendiri.”
“Kalau kamu bisa urus diri sendiri, harusnya nggak perlu sampai kayak gini. Seperti yang saya bilang, kalau saya nggak nggak suka kekerasan, apalagi wanita yang jadi korban. Juga, mendiamkan hal ini bukan jalan keluar, tapi mendidik Papa kamu menjadi orang yang nggak benar. Sekali lagi saya lihat dia perlakuin kamu dengan kasar, saya akan bertindak,” ucap Neil tegas.
“Neil, lu nggak usah ikut campur urusan gue,” balas Ayle keras kepala.
Lucu, pikir Neil lagi. Wanita itu terkesan kuat, tapi rapuh. Keras kepala tapi ragu, juga mandiri tapi tidak cukup mampu untuk menghargai nilai diri. Apa yang dipertahankannya, yang dilihat Neil hanyalah kepalsuan. Bersikap sok untuk menutupi masalah hidup yang sepertinya cukup pelik.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST MAN CALLING (END)
RomanceWARNING : MATURE CONTENT 21+ In collaboration with Andien Wintari. ***** "Kalau ada yang nanya sama gue tentang apa yang membuat hidup ini berarti. Gue bakal jawab : Make up, baju branded, badan seksi, dan dipuja karena memiliki wajah cantik. But, w...