Written by. AndienWintarii
Ayle menatap Neil yang duduk jauh di seberangnya. Kepala Ayle bergerak miring, berusaha mencari sudut yang lain untuk melihat Neil. Dia teringat pesan orang-orang bijak, bahwa baik atau buruk sesuatu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Tetapi darimana pun Ayle melihat laki-laki itu. Ayle sama sekali tidak menemukan alasan dirinya untuk merasa tertarik pada Neil.
Neil tidak tampan, ya, mungkin. Dia tidak begitu yakin mengenai ini. Sebab, penampilan kadang menipu dan Ayle tidak ingin terjebak dua kali. Laki-laki itu terlalu menyimpan banyak misteri. Pengalaman bercumbu di tangga darurat bersama Neil jelas membuat pikiran Ayle berubah mengenainya.
Ah, lihat sekarang, batin Ayle berbicara.
Neil mulai bercakap dengan gayanya yang kaku. Menjelaskan tentang banyak keuntungan yang akan diperoleh investor jika mereka menandatangani kontrak kerja sama yang sudah disepakati. Bibir Neil bergerak seirama saat kedua tangannya menyentuh udara. Beberapa kali, dia berusaha membenarkan letak kaca mata berbingkai hitam miliknya dan kali ini, Neil tidak lupa untuk mencukur kumis dan jenggotnya. Penampilannya rapi tanpa cela.
"Padahal sedikit berjenggot akan lebih bagus."
"Sorry?"
Ayle melirik client-nya yang duduk persis di samping. Dia hanya memamerkan senyuman manis sebagai tanda bahwa perkataannya tadi bukanlah apa-apa.
Jika dibandingkan dengan laki-laki di sampingnya, Neil jelas kalah telak. Ayle bisa memastikan bahwa selain tampan, client-nya itu juga sangat romantis. Beberapa kali client-nya sempat menawarkan untuk makan malam bersama atau mengiriminya beberapa hadiah sebagai tanda perkenalan. Ya, begitulah kebiasaan yang didapat Ayle dari lawan jenisnya.
Hadiah, sambutan yang ramah, kata-kata manis yang mendamba, dan jangan lupakan untuk sentuhan ringan jari-jari mereka yang membuat Ayle membara di ranjang.
Apa Neil pernah memberikan salah satu di antaranya?
"No, yes, um, no." Ayle terus berbicara tanpa suara. Menjawab semua pemikirannya sendiri.
Bagaimana bisa seekor kodok mampu membuatnya basah hanya karena memikirkan percumbuan mereka yang tidak berarti?
"That's crazy," jawabnya lagi tanpa suara.
Jika Neil cukup waras, pasti dia akan menyukainya. Bahkan mungkin mereka akan bercumbu lagi di suatu tempat rahasia, tapi tidak ada yang terjadi setelah itu selain pertengkaran mereka yang berujung pada surat teguran.
Ayle yakin akan dua hal sekarang. Pertama Neil tidak waras, dan kedua tidak ada yang salah dengan permainan lidahnya ketika mereka berciuman.
Pandangan Ayle dan Neil bertemu. Ayle hanya menganggukkan kepala sebagai sapaan sesaat, sedangkan laki-laki itu tidak bereaksi sama sekali selain meliriknya malas.
"See?" ucapnya pada diri sendiri. "Dia bukan cuma siluman kodok, tapi dia juga siluman babi, kolong wewe, kolor ijo, jelmaan jenglot, aaaarrrrggghhh. Oke, keep calm, Ayle." Ayle hanya mampu berteriak di dalam hatinya sambil tetap menyodorkan senyum ramah kepada dua laki-laki di depannya kini.
Ayle membuang pandangan ke arah langit-langit cafe tempat mereka bertemu untuk meeting, kedua telapak tangannya bertemu, menggenggam erat satu sama lain dan ditempelkan pada dadanya. Dia berharap pikiran-pikiran tentang Neil enyah dari otaknya, atau kalau bisa laki-laki itu enyah saja dari hidupnya.
Sesaat kemudian Ayle bergerak, menggelengkan kepala, menekan kedua curug di matanya dengan drama yang terlalu dibuat-buat. Lalu dia menghela napasnya yang terbebani karena tidak sanggup memikirkan Neil lagi. Baginya ini kesialan, karma atau apa pun sebutannya. Ayle tidak pernah memikirkan laki-laki sampai dua kali, kecuali bertahun-tahun lalu ketika masih menjadi remaja lugu dan sekarang dia seperti manusia dungu memikirkan siluman kodok.
![](https://img.wattpad.com/cover/220283033-288-k86768.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST MAN CALLING (END)
RomanceWARNING : MATURE CONTENT 21+ In collaboration with Andien Wintari. ***** "Kalau ada yang nanya sama gue tentang apa yang membuat hidup ini berarti. Gue bakal jawab : Make up, baju branded, badan seksi, dan dipuja karena memiliki wajah cantik. But, w...