Part. 9 - COD

27.7K 2.1K 146
                                    

Written by. AndienWintar


"Jadi, gimana?"

"Apanya?"

"Mau ngambil tawaran kemarin?"

"Oh, itu. Gue nggak minat."

"Ha? Tumben banget."

Ayle memalingkan pandangannya dari laptop, matanya mengerjap beberapa kali ketika memfokuskan penglihatannya ke arah Sisil teman sekantornya yang kini memasang wajah bingung. "Kenapa liat gue begitu?" tanya Ayle kemudian.

"Tumben lo nolak buat makan martabak."

Kerutan kening Ayle muncul mendengar perkataan Sisil. "Kok, martabak?"

"Lha, emangnya apa dong?"

"Emang kita lagi ngomongin apaan sih?"

Sisil menghela napas, mencoba menahan emosinya sendiri ketika sadar bahwa Ayle sama sekali tidak memperhatikan pembicaraan mereka sedari tadi. "Pak Didin mau mesen martabak manis, lo mau ikutan patungan nggak?"

"Ya Tuhan, mau lah. Berapaan?"

"Dua puluh ribu aja, Sister."

Dengan sigap Ayle mengambil dompetnya di dalam tas, mengeluarkan uang duapuluh ribu dan memberikannya pada Sisil dengan sebuah senyuman ramah. "Toppingnya macha ya."

"Yeee, mana bisa milih."

"Hidup kan pilihan, Sil."

"Ya ampun, Ayle. Ketimbang mesen martabak aja disangkut—pautin sama kehidupan."

Kepala Ayle menggeleng. "Martabak is life."

Sisil hanya meringis menanggapi ucapan Ayle yang terkesan ngawur. "Yaudah, nanti jam makan siang gue kabarin lo kalau martabaknya udah sampai."

"Oke, sip."

Suara telpon di meja kerja Ayle mengintruksi mereka berdua. Ayle langsung mengangkat sambungan telpon itu tanpa berpikir panjang, sedangkan Sisil berlalu meninggalkannya.

"Hallo, dengan Ayle di sini."

"Hallo, Mbak Ayle. Maaf mengganggu, ini Santi resepsionis di lobby. Mbak, ada orang yang nyariin Mbak Ayle."

"Nyari saya?"

"Katanya ayahnya Mbak Ayle."

"Ayah saya?"

"Lama banget sih, saya ini papanya Ayle bukan orang lain! Cepet suruh dia turun."

"Sabar ya, Pak. Ini saya sedang mengabari Mbak Ayle. Mbak, tolong segera ke lobby ya."

Suara ketakutan resepsionis itu membuat Ayle berpikiran was-was. Sudah dengan baik dia menyembunyikan alamat kantor tempatnya bekerja sekarang dari sang ayah. Bukan tanpa alasan, justru karena dia terlalu malas mengikuti segudang drama yang dibuat laki-laki itu sampai akhirnya Ayle memutuskan untuk menyembunyikan dimana dia mencari uang. Tidak akan ada yang tersisa dari jerih payahnya jika tidak begitu.

Ayle melangkah dengan gusar, pikirannya mengawang ke mana-mana. Lusa kemarin dia sudah memberikan seluruh uang yang didapatkan dari hasil bekerja sambilan kepada ayahnya, tapi pasti uang sebesar itu belum cukup membuat sang ayah puas. Ayle tidak ingat kapan terakhir kali dia menikmati hidup dengan ketenangan tanpa terbebani tuntutan sang ayah.

Jika ada kesempatan untuk meminta, Ayle ingin hidup seorang diri tanpa hubungan apa pun. Bahkan jika itu hubungan keluarga, atau percintaan romantis yang sering dia tonton di drama Korea, Ayle tetap tidak akan terjerumus di dalamnya. Tidak ada laki-laki yang tidak menyusahkan dirinya. Pikiran Ayle meloncat-loncat ke berbagai arah tanpa kepastian. Penguasaan dirinya tidak bisa diatur jika berkaitan dengan sang ayah. Apa gunanya laki-laki ada dalam hidupnya saja, Ayle tidak tau.

LAST MAN CALLING (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang