Part. 15 - Business Trip

24.9K 2.2K 106
                                    

Written by. AndienWintarii

"Neil," teriak Ayle ketika gadis itu mulai menarik kedua kopernya dengan tertatih-tatih di lorong hotel tempat mereka memesan kamar selama berada di Bangka Belitung.

Mereka berdua baru sampai setengah jam yang lalu di hotel dan memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar ketika selesai membuat schedule bersama tentang apa saja yang mereka akan lakukan selama berada di Bangka Belitung.

Ayle mengeluh lebih sering daripada yang biasa dia lakukan. Gadis itu tidak bisa berpikir bagaimana rasanya menjadi Romeo, melayani atasan seperti Neil yang menuntut semua dikerjakan secara sempurna tanpa cela.

Neil memberikan segudang catatan apa yang dia tidak suka saat bekerja dan apa yang lebih baik disajikan Ayle saat laki-laki itu bekerja. Daftar keinginan Neil begitu rinci, tapi ada satu yang paling membuat Ayle bertanya-tanya dalam hati. Laki-laki itu selalu tidak bekerja lebih dari lima jam sehari tapi mampu menyelesaikan seluruh target yang dituntut oleh atasan padanya.

Ayle yakin bahwa Neil adalah laki-laki yang cerdas karena laki-laki itu selalu berhasil mengatur keuangan kantor tanpa kesalahan. Reputasinya yang selalu bersih menjadi pembicaraan di kalangan karyawan, tapi Ayle tidak pernah tau kecerdasan Neil sampai di tahap mana jika rasa kepeduliannya saja pada sesama sangat mengkhawatirkan.

"Neil, gue manggil lo. Nggak denger apa?"

Neil melirik Ayle yang kini sudah berhasil mensejajarkan langkah kaki mereka. "Kamu nggak perlu teriak-teriak buat manggil saya."

"Bantuin gue, please."

"Siapa yang suruh kamu bawa banyak koper."

"Kita di sini seminggu, lo berharap gue cuma bawa tas ransel aja, gitu?"

"Saya cuma bawa satu tas ransel, kenapa kamu nggak bisa?"

"Karena gue perempuan, gue butuh bawa baju lebih banyak buat jaga-jaga, apalagi kalau gue lagi dapet bakal jauh lebih repot."

"Dapet?" tanya Neil kemudian dengan wajah bingung.

"Maksud gue, menstruasi, Neil."

"Oh."

"Jangan cuma oh aja, bantuin."

"Nggak mau."

Neil kembali sengaja mengambil langkah panjang dan cepat agar dia tidak perlu lagi mendengar Ayle mengeluh, tapi bukan Ayle namanya jika gadis itu mudah putus asa hanya karena Neil sengaja membiarkannya menderita. Ayle mengeluarkan seluruh tenaganya agar bisa menarik kedua koper besar yang dia bawa lebih cepat dan menyusul Neil yang kini sudah menghentikan langkah di depan pintu kamar.

"Kita udah sampai?"

"Kita? Ini kamar saya, kamar kamu di paling ujung," ucap Neil sambil memberikan kartu yang berfungsi sebagai kunci otomatis kamar hotel kepada Ayle.

"Thanks," jawab Ayle sinis.

"Temui saya lima menit lagi dari sekarang, jangan sampai telat, kamu tau saya benci orang yang telat."

"Apa?"

"Empat menit."

"Gila."

"Tiga menit."

"Aaaaaa, Neil!" Ayle berlari terburu-buru tanpa mendengarkan kekehan Neil yang muncul karena tingkahnya.

Neil yang melihat Ayle sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri hanya bisa menggelengkan kepala, tidak menyangka bahwa gadis itu akan sepenuhnya patuh pada perintahnya. Ayle adalah satu-satunya orang yang tidak pernah mau menurut di dalam kantor. Mungkin karena gadis itu memang memiliki tabiat yang buruk, tapi Neil tidak bisa mengatakan bahwa dia membenci Ayle dengan segala sikapnya yang terkesan anak-anak. Gadis itu tetap memiliki daya tariknya sendiri dan Neil enggan mengulik lebih.

LAST MAN CALLING (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang