the truth untold

756 47 0
                                    

Reihan dan Melsa duduk berhadapan di kedai kopi langganan Rei. Melsa memang meminta pria itu untuk bertemu di tempat yang jauh dari kampus, jadi ia ikuti saja rekomendasi tempat dari Rei. Dua gelas minuman tersaji di meja. Rei tanpa bertanya pada Melsa, sudah memesankan lebih dulu chocolate frappe untuknya. Minuman kesukaan gadis itu sejak SMA.

Mata Melsa menyipit melihat pria itu masih memikat seperti dulu. Rei terlihat tenang dan dewasa, apalagi cara berpakaian dia yang sekarang sebagai tuntutan menjadi seorang asisten dosen mengharuskan ia lebih serius dalam berpakaian.

"Jadi gimana kabar kamu sekarang?" Tanya pria itu membuka percakapan lebih dulu.

Melsa yang merasa tertangkap basah memandangi pria itu sedikit gelagapan karena pertanyaan tiba-tiba darinya.

"Euh, baik. Kamu gimana sekolahnya. Lulus sebelum waktunya ya?"

Pria itu tersenyum lalu mengangguk. "Aku ga tenang di sana lama-lama."

"Kenapa?" Melsa mengerutkan keningnya.

"Ga apa-apa." Pria itu mengalihkan pembicaraan nampak keberatan membahas mengenai itu. "Kamu sejak kapan pacaran sama Alex?"

Melsa merasa ia tidak pernah menceritakan nama pacaranya pada Rei, ia heran mengapa pria itu bisa tahu.

"Baru lima atau enam bulanan. Belum lama."

Rei kembali diam mendengar jawaban Melsa, ia mengamati gelas kopi di tangannya seolah-olah ada yang menarik di sana.

"Hm, Rei, mengenai lukisan foto itu.." Melsa mmeutuskan untuk mengungkit kejadian tempo hari saat ia tidak sengaja menekam tombol suka. "Aku ga sengaja nemu di halaman explore."

"Itu lukisan yang aku buat beberapa tahun lalu kok Mel, jangan khawatir, aku cuma iseng aja posting di social media."

Melsa mengangguk perlahan, "Ah, oke. Ga apa-apa kok, cuma kaget aja waktu liat ternyata itu akun kamu."

"Cowok kamu ga marah kan?"

"Alex ga tau, aku ga cerita."

"Kamu happy Mel sama dia?"

"Kok nanya gitu sih Rei?" Melsa tidak nyaman membicarakan pacarnya kepada pria itu. Itu terasa aneh dan Melsa merasa mengkhianati salah satu dari mereka.

"Biar aku ga ngerasa bersalah aja dulu udah ninggalin kamu."

Melsa jadi ingat saat-saat Rei meminta agar hubungan mereka berakhir. Tepat sebelum Rei pindah ke luar negeri untuk kuliah, ia menghubungi wanita itu dan memutuskan hubungan sepihak melalui panggilan telepon.

"Kamu jahat sih dulu, sampe sekarang aku ga tau salahku apa."

"Aku ga ada pilihan." Laki-laki itu tersenyum getir.

"Maksud kamu?"

"Masmu ga cerita?"

Melsa menggeleng. "Ada apa sama mas Tirta?"

"Kamu tanya sendiri aja deh sama dia."

"Nggak, aku ga mau. Aku mau denger dari kamu sekarang."

Rei menghela napas, ragu apakah ia seharusnya membocorkan ini atau tidak.

"Rei.." Pinta Melsa.

"Mas Tirta yang nyuruh aku putusin kamu dulu."

=

Ia sengaja tidak menerima ajakan Rei untuk pulang bersama walaupun pria itu memaksa. Setelah percakapan singkatnya dengan pria itu, Melsa merenungkan kejadian hari ini. Ia merasa bersalah karena telah menemui mantan pacarnya tanpa bilang pada Alex. Namun, jika pria itu tahu, ia akan mengamuk dan Melsa tidak tahan jika itu terjadi.

Posisi Melsa belum berubah sejak setengah jam lalu, ia masih terbaring di atas kasurnya merasa lelah dengan semua ini. tangan Melsa meraih ponsel dan mencari nomor kakaknya, Mas Tirta.

"Halo, de?" Tirta yang sedang berada di jalan mengendarai mobil menuju tempat klien, menyambungkan panggilan pada speaker mobilnya agar ia tetap bisa fokus.

"Mas lagi di kantor?"

"Lagi di jalan, ada apa?"

"Aku mau ngomong tapi agak penting."

"Emangnya kapan kamu ngomong sama mas yang ngga penting? Kan setiap kali kamu nelpon pasti ada apa-apa."

"Iya, makanya. Bisa, mas?"

"Sebentar." Tirta menepikan mobilnya untuk berbicara pada Melsa. "Iya, kenapa?"

"Mas ada apa sama Reihan?"

"Reihan?"

"Pacar aku waktu SMA."

"Kamu masih berhubungan sama dia?"

"Tadinya udah engga, tapi sekarang dia ngajar di kampusku." Melsa tidak mendengar respon Tirta, karena gemas ia bertanya lagi. "Mas yang suruh Rei putus sama aku dulu?"

"Eh itu.." ia mendengar kakaknya terbata-bata dan tidak kunjung memberi jawaban.

"Jadi bener mas?"

"De, mas ada alasan yang jelas." Akhirnya Tirta mengalah dan menceritakan pada adiknya alasan mengapa ia ingin mereka putus. "Dulu kamu naik kelas tiga dan Rei kuliah di luar negeri."

"Terus kenapa?"

"Mas pikir itu akan ganggu konsentrasi kamu dengan hubungan jarak jauh seperti itu."

"Yang ngejalanin hubungan itu aku mas, aku yang tahu itu akan ganggu atau engga."

"Iya mas tau jalan pikiran kamu, tapi coba kamu pikir, kalo seandainya ada masalah sama dia terus kamu bertengkar, kamu bakal pusing dan frustasi di saat seharusnya fokus sama ujian nasional."

"Tapi mas ga ada kepikiran yang sebaliknya?" Tanya Melsa, "aku justru hilang konsentrasi karena setahun itu aku pikirin apa yang salah sama diri aku sampe Rei minta putus tiba-tiba tanpa alasan."

"De, mas cuma melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang kakak. Melindungi adiknya. Kamu ga tau di sana Rei akan main dengan perempuan lain atau engga. Godaan di sana berat."

"Rei itu bukan mas Tirta, jangan samain dia sama mas Tirta!" Melsa menutup panggilan tiba-tiba karena kesal dengan kakaknya itu.

Tirta menghela napas karena ia tahu adiknya kecewa. Namun, dulu ia hanya ingin melindungi adiknya. Hubungan jarak jauh itu sulit di tempuh, apalagi oleh pasangan yang masih terlalu muda dan ia tidak ingin adiknya terluka dan membuang waktu untuk cinta monyet yang tidak akan bertahan lama.

FORCED LOVEWhere stories live. Discover now