Bab.5b

6.6K 975 142
                                    

Di dalam lift, Zalia menatap Gavin kebingungan. Ia masih tak mengerti kenapa pemuda ini bisa menyusulnya.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya sambil menatap Gavin tajam.

“Oh, itu. Gue yang ngasih tahu alamatnnya. Tadi pas kita mau berangkat, dia tanya tempat kita kencan buta. Gue pikir dia mau jemput lo.” Anggun menjawab cuek sambil mengangkat bahu.

Zalia melirik sahabatnya. Lalu bersendekap. “Lo juga, dapat dari mana, sih, cowok  model mereka? Udah pelit, tukang maksa pula!”

Anggun tersenyum kecil, mengibaskan rambutnya ke belakang. “Well, ada teman yang kenalin. Awalnya aku terima karena mereka kerja di bank. Ternyata, cuma pegawai rendahan yang pelit.”

Gavin mendengarkan percakapan dua wanita di depannya sambil tersenyum. Ia menatap Zalia yang terlihat kesal. Entah kenapa, ia bersorak dalam hati saat tahu jika kencan buta mereka berakhir kurang menyenangkan.
“Gavin, kamu kemari mau apa?” tanya Zalia.

Gavin tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Lift berbunyi, mereka tiba di lantai dasar.

“Gue balik dulu, Gaes. Bye-bye.” Anggun berteriak sambil berpamitan.

Zalia menatap kepergian sahabatnya dengan pandangan tidak percaya. Setelah menjerumuskannya dalam kencan buta paling buruk yang pernah ia alami, kini Anggun meninggalkannya begitu saja bersama Gavin. Ia menarik napas, berusaha menyembunyikan rasa malu-nya.

“Yuk, motorku ada di sana.” Mendadak, Gavin meraih lengannya dan sedikit memaksa menggandengannya menuju tempat parkir.

Ia masih terdiam, saat menerima helm dan duduk di bagian belakang motor Gavin. Selepas dari area parkir gedung, motor melesat di sepanjang jalanan ibu kota.

Mereka tidak saling bicara selama kendaraan melaju. Zalia pasrah, mengikuti ke mana pun Gavin membawanya. Ia didera rasa malu, dan merasa sudah melakukan hal yang konyol.

“Princess, jangan lupa pegangan. Kita ngebut!” teriak Gavin.

Zalian mengulurkan tangan, menggenggam pinggang Gavin lebih erat dari yang sebelumnya. Kendaraan melambat saat memasuki sebuah taman di mana di dalamnya terdapat saung-saung untuk pengunjung restoran. Gavin memarkirkan motor dan menggandeng Zalia menuju saung paling ujung.

“Aku belum makan, kita makan dulu di sini,” ucapnya ceria.

Zalia mengangguk, duduk di atas bantal tipis yang menjadi tempat lesehan. Di depan mereka ada meja pendek dari kayu yang berfungsi sebagai tempat makanan. Pelayan datang, mereka memilih menu steamboat.  Sambil mengaduk kuah kaldu ayam dan memasukkan berbagai varian bakso ke dalam panci bulat, Zalia menatap Gavin.

“Kok kamu tahu aku lapar?” tanyanya.

Gavin menepuk dadanya. “Tentu saja, hati kita kan terkoneksi.”

Zalia menyipit, di antara uap yang mengepul di wajahnya. Ia menatap tak percaya pada pemuda yang kini sedang menyuap sayur rebus ke mulutnya. Ia sendiri mengambil dua bakso kepiting yang sudah matang dan mencicipi perlahan.

“Lebih enak di sini’kan? Dari pada restoran tadi? Aku lihat makanannya tidak ada yang menggugah selera.”

“Sebenarnya ada yang enak, tapi dua laki-laki pelit itu memesan yang paling murah untuk kami,” desis Zalia geram.

“Benarkah? Sepelit itu mereka. Lalu, apa itu bikin kamu kapok untuk ikut kencan buta lain kali?”

Zalia merenung lalu menggeleng. “Entahlah, belum terpikir yang lain. Mungkin kalau pun ada kencan yang lain, aku harus menyelidiki dulu latar belakang mereka.”

Marry Me If You Dare (Sang Perawan Mengejar Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang