Bab.3a

6.4K 932 71
                                    

Suara tawa memenuhi ruang tamu di apartemen Zalia. Ia melirik sengit ke arah dua temannya yang sedang mendengarkan dia bercerita. Tentang bagaimana gilanya ia malam itu, saat di jalan bersama pemuda yang baru ia temui.

“Hahaha. Keren banget lo, Za. Dicampakkan sama tunangan, dibilang pelakor, diserang preman, trus ciuman sama brondong yang nggak dikenal.” Anggun tak mampu menahan tawanya. Ia mengerling ke arah Zalia yang masam dan Sani yang ikut tertawa bersamanya.

“Zalia oh Zalia, ibarat dalam satu malam dia mendaki gunung dan menyeberangi lautan.” Sani menimpali dengan gembira.

“Udah belum ketawanya?” Zalia bertanya sengit pada dua sahabatnya. “kalau belum, kalian ketawa aja terus. Gue mau tidur!”

Ia hendak merebahkan diri di sofa saat Anggun berteriak. “Eih, enak aja lo mau tidur.” Wanita itu bergerak cepat dan duduk di samping sahabatnya. “Jadi, gimana rasanya ciuaman si brondong tampan itu?”

“Dari mana lo tahu dia tampan?” tanya Zalia heran.

“Hei, emangnya kalau nggak tampan, lo mau dicium ama dia gitu aja?”

Zalia menghela napas,  melirik Anggun dan menjawab pelan. “Ciumannya lumayan!”

“Huft, coba diskripsikan dengan jelas arti lumayan? Apa pertarungan lidah kalian nggak bikin lo pingin nerkam dia? Kalau begitu, artinya dia nggak jago!”

Sani yang semua berdiri di dekat jendela kecil, mendekati sofa dan duduk di depan mereka. “Dia setampan apa?”

“Tampan relatif, bagaimana ciumannya?” tanya Anggun penasaran.

Berbagai pertanyaan dari dua sahabatnya membuat Zalia pusing. Ia tak tahu harus ngomong seperti apa. Tadinya, niat mereka berdua untuk menghiburnya. Siapa sangka setelah mendengar ceritanya soal Gavin, fokus mereka berubah.

“Ayo, cerita,” desak Sani sambil mengulum senyum.

Zalia berdehem tak nyaman. Ia menelengkan kepala lalu berucap. “Ada satu hal lagi, sih. Sebenarnya semalam gue nglamar dia dan ditolak!”

“Hah!” Kedua sahabatnya melongo bersamaan lalu kembali tertawa terpingkal-pingkal. Membuat Zalia makin sebal.

“Ketawa aja terus! Kagak usah berhenti!”

“Duuh, Za. Sumpaah, lo tuh imut dan lucuuu.” Anggun nyaris keluar air mata karena tawa berlebihan. “nggak nyangka lo senekat itu.”

Zalia mengetuk kepalanya dan menjawab masam. “Gue juga nggak nyangka bakalan senekat itu. Entah apa yang gue pikirin malam itu. Lihat cara dia nglindungin gue dari hujan, pingin ngalamar aja. Apalagi pas dia beneran belain gue dari penjahat.” Ia merenung, mengingat soal malam itu. Gavin yang tak mengenalnya, nekat mempertaruhkan nyawa. “hati gue tersentuh. Karena dia.”

Sania menahan tawa, menatap sahabatnya yang terlihat murung. “Entah dia siapa, tapi yang pasti udah bantu lo. Btw, ada minta nomor ponsel nggak?”

Zalia menggeleng lemah. “Gue lupa.”

“Aah, dasar lo. Gimana mau ngejar dia jadi suami kalau lo nggak minta nomor ponselnya!” Anggun menggelengkan kepala tak percaya pada kecerobohan Zalia.

“Mungkin karena semalam terlalu shock. Jadi gue lupa juga mau minta nomor ponsel. Dia anterin gue sampai depan apartemen. Udah, say good bye.”

“Sayang sekali, semoga lain kali ada jodoh buat ketemu dia lagi.” Sani mengeluarkan selembar kertas dan menyerahkannya pada Zalia. “Kita harus ke hotel sekarang. Tepatnya lo ke hotel dan akan kami temani.”

“Apa ini?” Zalia menerima kertas yang disodorkan padanya dan membaca perlahan. Detik itu juga ia berdiri sambil mengumpat. “Sial! Gue harus bayar ganti rugi kerusakan di hotel? Hei, bukan gue yang bikin pengrusakan di sana!”

Marry Me If You Dare (Sang Perawan Mengejar Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang