Bab.1a

9.4K 913 41
                                    

Semerbak bunga bercampur dengan wangi parfum, menguar bersama aroma dari rempah-rempah masakan, yang terhidang di atas meja prasmanan. Bunyi peralatan makan beradu, ditimpa dengan obrolan dari penjuru ruangan. Semua tamu yang hadir terlihat bahagia, memandang pasangan yang baru saja bertunangan. Wajah keduanya berseri-seri, menebar senyum pada siapa pun yang memberikan ucapan selamat.

“Kamu cantik sekali malam ini, Sayang.” Sang laki-laki yang memakai jas hitam, meraih tangan tunangannya dan memberikan kecupan di atas jemari sang wanita yang memakai cincin emas.

“Ah, masa? Kok kamu baru sadar?” Si wanita terkikik senang. Rona merah memancar dari wajahnya yang jelita. Tubuhnya terlihat memukau dalam balutan gaun kuning emas menyapu lantai.

“Aku tahu dari dulu, makanya aku mau nikahi kamu.”

“Iih, gombal!”

Keduanya berbicara lirih dengan wajah saling berdekatan. Membuat semua yang melihat merasa iri dengan kemesraan mereka.

Di ujung ruang resepsi, tidak jauh dari jendela kaca, dua orang wanita terlibat obrolan seru. Keduanya sama-sama memandang ke arah pasangan yang baru saja bertunangan dengan tatapan tidak percaya.

“Heran gue, Zalia ngotot tunangan sama Thomas,” ucap wanita bergaun hitam. Dia menggelengkan kepala dengan heran, sambil mengelus perutnya yang membuncit. “secara, Thomas itu jenis laki-laki yang nggak banget buat dinikahi.”

“Aah, gue dah capek ngomong sama Zalia. Lo tahu sendiri dari dulu dia ngebet kawin di umur 33 tahun. Kalau nggak bakalan kena kutukan. Hari giniii, percaya gituan?” Kali ini, wanita yang berkebaya biru menjawab. Matanya menyipit tidak senang ke arah yang sama dengan temannya.

“Dia cantik, karir cemerlang, malah menyerahkan diri pada Thomas.”

“Ingat, ya. Thomas itu seorang GM.”

“Iyaah-yaah, tapi menyebalkan.”

“Huft, jangan sampai Zalia dengar apa yang kita omongkan.”

Keduanya terus berbicara dengan nada tidak puas. Sambil sesekali menatap orang-orang yang berlalu lalang di hadapan mereka. Saat melihat laki-laki berjas beranjak dari tempatnya berdiri, wanita bergaun hitam memberi tanda pada temannya untuk menghampiri wanita bergaun emas yang berdiri di bawah kanopi bunga.

“Waah, waah, calon pengantin. Senyum terus dari tadi.”

Zalia tertawa lirih mendengar sapaan untuknya. Ia merentangkan gaun kuning keemasan menyapu lantai yang membungkus tubuhnya, sambil mengedipkan sebelah mata.

“Hari ini, gue bahagia banget. Akhirnya, Thomas nglamar gue, yeaaah!”

Wanita berkebaya mendengkus keras. “Gue yang bingung, ngapain lo harus nikah buru-buru, sih? Percaya amat sama dongeng.”

Zalia mencebik, meraih pinggang temannya dan mendaratkan cubitan di sana. “Lo enak ngomong gitu karena tinggal di luar negeri. Nggak perlu denger omongan orang. Lah, guee?”

“Lo tinggal di Jakarta, kota metropolitan kalau lo lupa. Di sini orang nggak peduli  lo mau nikah apa nggak.” Kali ini yang menyangkal adalah wanita hamil bergaun hitam.

“Sani, lo tuh dah nikah. Masa gue nggak boleh nikah juga? Lo nggak ada beda sama Anggun. Entah kenapa kalian berdua benci Thomas.”

Zalia menatap kesal pada temannya. Di hari dia berbahagia, kedua sahabatnya sama sekali tidak mendukung. Entah apa yang salah sama calon suaminya. Dari awal diperkenalkan dengan dua sahabatnya, sikap permusuhan terlihat begitu jelas di antara mereka.

“Sayang sama karir lo. Gue nggak ada masalah sama Thomas.” Anggun menyibak rambut panjangnya dan merapikan kebaya yang ia pakai.

“Sama, gue nggak ada masalah sama calon laki lo.” Sani mengelus perutnya dan tersenyum. “Sudah, jangan cemberut. Nanti hilang cantiknya.” Ia merangkul pundak Zalia dan mencubit pipi sahabatnya.

Marry Me If You Dare (Sang Perawan Mengejar Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang