Bab.2b

6.5K 883 29
                                    

Mereka duduk bersisihan di halte yang sepi. Sementara hujan deras mengguyur. Setelah  menangis di pelukan pemuda asing, kini Zalia merasa malu. Lebih tepatnya tertekan dan malu.

Ia menunduk, otaknya kosong. Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah. Sementara pemuda di sampingnya hanya menatap dalam diam.

"Pakai ini, bersih kok." Zalia menoleh, menatap lipatan sapu tangan yang disodorkan orang disampingnya.

Ia menerima tanpa kata, membersit hidung dan mengelap mata. Memperhatikan dalam diam, hujan yang masih turun deras. Gaunnya dan sepatunya kotor tapi ia tak peduli. Sakit hati dan rasa malu yang ia tanggung membuat kotoran di pakaiannya serasa tak berarti.

Samar-samar terburai dalam ingatan, Thomas yang tak menyangkal jika dia sudah menikah. Tudingan dan tuduhan istri laki-laki itu yang menyebutnya pelakor. Wajah paman dan bibinya yang pias karena kaget, juga tamu undangan yang lain. Malam pertunangan yang harusnya menjadi hari bahagia, berubah jadi arena pertengkaran. Kini, di malam yang basah ia duduk di samping orang asing.

"Apa Kakak sudah tenang? Apa kamu nggak tahu kalau wanita berada di pinggir jalan sendiri, malam-malam begini itu berbahaya?"

Zalia memejam lalu mengangguk. "Aku nggak sadar."

"Hah, maksudnya?"

"Aku nggak sadar jalan kaki sejauh ini. Aku malah nggak tahu ini di mana."

Gavin mengembuskan napas panjang. Ia melirik wanita di sebelahnya dengan pandangan heran. Wanita yang mengaku tak sadar sedang ada di mana. Ia memperhatikan penampilan wanita di sampingnya, gaun yang dipakainya terlihat bagus dan mewah. Ia menduga wanita itu kabur dari acara pesta.

Sekarang ia mengamati rambut panjang bergelombang yang ditata rumit dengan hiasan bunga di puncak kepala. Lalu turun ke wajah cantik dengan bibir tebal dan hidung mancung. Ada tahi lalat kecil di dagu yang menambah kecantikannya.

Wanita jelita yang gila, sayang sekali. Pikir Gavin suram.

"Kamu pasti mikir aku gila!" celetuk Zalia.

"Hah, kok tahu!" Gavin menjawab tanpa pikir panjang. Lalu mengatupkan mulut, merasa sudah keceplosan bicara.

"Nggak masalah, siapa pun akan mengira hal yang sama kalau lihat aku sekarang. Malam-malam keluyuran, menangis, meluk orang, tapi mereka nggak tahu aku lagi sedih." Lagi-lagi Zalia menangis, ia teringat dengan nasibnya yang begitu sial soal percintaan.

Gavin menyugar rambut dengan bingung. Ia sudah mencopot helm dan meletakannya di samping. Halte sepi tidak ada orang lain selain mereka berdua. Sebenarnya, ia ingin buru-buru pulang karena perutnya lapar. Bayangan mie instan dengan telur dan sayur membuat perutnya berkriuk lapar. Tapi, ia tak mungkin meninggalkan wanita yang sedang menangis sendiri di halte. Bagaimana kalau terjadi pada wanita itu, bunuh diri misalnya. Merasa ngeri dengan bayangannya sendiri, Gavin memilih menutup mulut dan menahan lapar.

"Apa kamu percaya ramalan?"

"Hah?" Gavin yang sedang asyik dengan pikirannya, menoleh. "ramalan apa?"

"Ramalan kehidupan. Kalau kita nggak melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan ramalan, maka hidup kita akan sial."

Senyum merekah dari mulut Gavin. "Aku nggak percaya gituan. Hidup ini susah dan harus kita jalani sendiri. Kenapa peduli omongan atau ramalan orang lain. Aneh."

"Itu karena bukan kamu yang diramal."

"Tetap saja, btw ... kenapa malam-malam begini ada di luar. Mau pulang ke mana? Aku antar atau naik taxi?"

Zalia meraba gaunnya yang basah, menyadari jika dia pergi tanpa membawa dompet dan ponselnya. Ia ingat menitipkan tas berisi barang-barang penting pada bibinya. Sekarang, ia mulai merasa panik.

"Aku nggak bawa uang, ponsel juga."

Gavin melirik, berdecak heran. Tak habis pikir pada wanita ceroboh yang nggak membawa apa pun saat keluar rumah. Ia memandang kuatir saat melihat Zalia bersin-bersin, sepertinya kedinginan karena gaun keemasannya terhitung tipis untuk dipakai pada malam berhujan.

"Aku bawa jaket tapi ada di jok motor."

Zalia menggeleng. "Aku nggak apa-apa, santai aja."

Bagaimana ia santai saat seorang wanita terlihat begitu sengsara. Menangis terus-menerus dan sekarang terlihat kedinginan. Gavin menatap langit yang berhujan, berharap jika rintik akan mengecil dan ia bisa mengantarkan wanita di sebelahnya, pulang. Saat ia sibuk dengan pikirannya, beberapa orang mendatangi halte. Ia menghitung cepat, empat orang laki-laki dalam gerakan mencurigakan, berdiri tak jauh dari mereka. Ia harus waspada.

Gavin menggeser tubuh, mendekat ke arah Zalia. Hingga lengan mereka bersentuhan. Gerakannya membuat Zalia mendongak dan menyadari ada orang lain di halte. Dalam deras hujan ia merasa kuatir sekarang. Entah kenapa, perasaannya tidak nyaman. Secara reflek ia mendekat pada Gavin, mencari perlindungan dari laki-laki di sampingnya.

"Apa kamu kedinginan?" Gavin berbisik, entah dari mana datangnya keberanian, ia melingkarkan lengan ke pundak Zalia.

"Iya, kayaknya bisa flu ini besok." Zalia menjawab pelan. Membiarkan tubuh Gavin menyebarkan kehangatan di pundaknya.

"Lagian, keluar pakai gaun."

Gavin bergumam dengan mata melirik empat laki-laki yang kini seperti mengurung mereka.

Sial! Pasti ada masalah ini! Ia mengumpat dalam hati. Tak masalah jika dia harus menghadapi mereka seorang diri, yang ia pikirkan justru wanita di sampingnya.

Marry Me If You Dare (Sang Perawan Mengejar Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang