Bab.3b

6.7K 842 38
                                    

Gavin terdiam, mengamati Zalia yang menunduk. Ada gurat kesedihan yang coba disembunyikan wanita itu. Tak suka dengan apa yang dilihatnya, ia meraih dagu Zalia dan membuat wanita itu menatapnya.

“Sudah berlalu, jangan sedih lagi. Anggap saja laki-laki itu sudah mati.”

Zalia tersenyum. “Aku pun berharap begitu. Tapi, aku nggak tahu rasa malu bagaimana nanti harus menghadapi orang-orang.”

“Kamu bukan pelakor, itu yang penting!”

“Iya, aku bukan pelakor. Aku bahkan tak tahu sama sekali dia sudah menikah. Kalau tahu, mana sudi aku.”

Keduanya bertukar senyum. Gavin melihat, di antara keremangan tangga darurat, wajah Zalia terlihat sendu dalam keremangan. Entah kenapa ia tak suka melihatnya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih wanita itu dalam pelukannya dan mengelus rambutnya yang panjang.

“Semua akan baik-baik saja, seiring waktu,” hiburnya lembut.

Mereka tak saling bicara. Membiarkan tubuh keduanya berbagi kehangatan. Zalia  pun merasa dirinya nyaman berada dalam pelukan Gavin, seakan telah lama mengenal laki-laki. Ia mendongak, Gavin menatapnya. Tanpa apa-apa, pemuda itu menciumnya.

Lagi-lagi ia hanya dibuat terengah oleh serbuan ciuman yang panas dari bibir Gavin. Otaknya terasa berkabut saat keduanya saling melumat. Napasnya terengah dan ia membiarkan dirinya terlena. Dalam ciuman panjang yang seperti membakar jiwa.

Sebelum berpisah, Gavin memberikan nomor ponselnya. Tanpa kata keduanya berjanji untuk saling berkomunikasi.
***
Di sebuah klub malam yang hingar bingar, sekelompok orang duduk mengelilingi meja panjang. Ada banyak botol kaca dan gelas kristal dengan cairan alkohol di atas meja. Asap rokok mengepul dari mulut mereka. Obrolan lirih terdengar sambil sesekali mata mereka mengamati para wanita pendamping, bernyanyi karaoke di depan TV layar lebar.

Seorang laki-laki tampan berusia pertengahan 30, dengan rokok di tangan, mengamati orang-orang di sekelilingnya. Keningnya berkerut saat mendengar pembicaraan yang seperti tanpa kata sepakat. Ia sudah lelah bekerja seharian, dan seharusnya menikmati hiburan. Tapi, orang-orang sialan ini menyulitkannya.

“Pak Emilio, apa kita mencapai kata sepakat?” Seorang laki-laki separuh baya dengan perut buncit bertanya padanya.

Emilio mendengkus jijik, melihat senyum laki-laki itu seperti dipaksa keluar dari mulutnya. Ia melirik sekilas, saat salah seorang wanita pendamping duduk di samping laki-laki itu, dan tanpa malu-malu si buncit meremas paha sang wanita. Tidak hanya itu, dia bahkan mencium dada montok si penghibur dengan bernafsu. Tidak memedulikan orang-orang di sekitar meja.

“Pak, tolong fokus. Pak Emilo sedang menunggu.” Seorang laki-laki berkacamata yang diketahui asisten si buncit, berbisik pada atasannya.

Tegurannya membuat si buncit mengangkat wajah dari dada sang wanita dan kembali menatap Emilio.

“Masih belum ada jawaban, Pak? Nilai yang kami tawarkan itu besaar sekali.”

Emilio mematikan rokoknya, mengerjap lalu menjawab. “Akan saya pikirkan. Ini terlalu terburu-buru.”

“Hei, apa yang perlu dipikirkan. Jelas-jelas Golden Wang Group sedang mengalami krisis keuangan. Hotel kalian sedang diambang kebangkrutan karena hutang yang melilit. Kami menawarkan bantuan berlimpah yang akan mampu menopang hotel bahkan 10 tahun mendatang.”

“Dengan bunga mencekik,” sanggah Emilio pelan. Ia mengubah posisi duduk dari semula menghadap layar TV kini ke arah meja. Meraih gelas berisi cairan kekuningan dan meneguknya hingga habis. “Hotel kami memang sedang krisis tapi bukan bangkrut. Kalau saya terima uang dari Anda, itu sama saja seperti menjual hotel!”

Marry Me If You Dare (Sang Perawan Mengejar Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang