Tahun 1860
Desa Lubuk Resam, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu
"Simpan saja baju ini. Mungkin bisa digunakan untuk anakmu menikah suatu hari nanti," ujar Mayor Pieter Ebony dengan mata yang sembap.
"Terima kasih, Tuan. Hati-hati di perjalanan," sahut Awek.
Betapa girangnya ia saat mendapat gaun pengantin yang sangat mahal itu. Istrinya pun tampak semringah.
Majikan mereka akan pulang ke tanah airnya dan tidak akan pernah kembali lagi, sebab sudah datang pimpinan pengawas pelaksanaan tanam paksa yang baru.
Lambaian tangan terhenti tatkala gerobak yang membawa Mayor Pieter Ebony tak lagi terjangkau oleh pandangan. Istri dan anak-anak Mayor Pieter Ebony telah lebih dahulu pergi ke pelabuhan Pulau Baii, Bengkulu, sejak seminggu yang lalu. Menunggu sang Mayor di pos penjagaan Belanda di sana.
"Baju ini bisa dipakai saat pernikahan adikku Sekenut, minggu depan. Bolehkah?" tanya Wati dengan wajah penuh harap.
"Tentu saja boleh. Lihatlah kemewahan baju ini, sangat berkelas. Orang-orang akan semakin kagum pada keluarga kita." Awek terkekeh sambil memperlihatkan bahan kain berwarna putih dan lembut.
Namun, sesaat kemudian, wajah istrinya menjadi keruh. Tangannya mengangkat bagian bawah gaun itu.
"Apa ini darah?"
Awek ikut terkejut dan gelagapan. Kening lelaki itu mengernyit.
"Mungkin ini bekas darah hewan. Jangan terlalu dipikirkan. Dicuci juga akan hilang. Aku akan pergi ke rumah Mayor yang baru, siapa tahu dia membutuhkan jasaku."
Wati mengangguk. Dia segera mencuci gaun itu sesaat setelah suaminya pergi.
Awek bekerja sebagai kaki tangan Mayor Pieter Ebony. Jongos spesial yang tugasnya membantu mengawasi para penduduk yang melaksanakan sistem tanam paksa di daerah Lubuk Resam. Pergantian pengawas Belanda sangat penting baginya untuk kembali menjilat dan meraih perhatian Mayor yang baru itu.
***
Acara pernikahan adik kandung istri Awek digelar. Dia tampak cantik mengenakan gaun pengantin pemberian Mayor Pieter Ebony.
"Kenut, alap nian kaba. (Kenut, cantik sekali dirimu)," puji Wati yang membantu Sekenut mengenakan gaun itu.
Dia berjongkok memandang wajah adiknya yang tengah duduk di kursi.
Sekenut tersenyum. Namun, Wati seakan melihat sosok lain di hadapannya. Perempuan berkulit putih dan wajahnya mirip dengan Mayor Pieter Ebony. Wajah perempuan itu perlahan berganti menyeringai dengan mata yang mengeluarkan darah.
"Hah!"
Bug! Punggung Wati membentur lemari saat dia tiba-tiba mundur ke belakang.
"Aduh ...," keluh Wati seraya meringis.
"Ada apa, Wo?" Sekenut ingin membantu kakaknya, tetapi baju itu terasa sempit untuk bergerak. Wo adalah panggilan bagi kakak perempuan tertua di daerah Seluma.
Masih ketakutan, Wati memaksakan diri menatap Sekenut. Apa tadi dia salah lihat? Mengapa tadi seakan ada wajah noni Belanda dalam diri Sekenut?
Ah, mungkin saja dia salah lihat. Wati mengelus punggungnya yang terasa perih dan sedikit panas.
"Wo?" Sekenut berusaha berdiri.
"Tidak apa, Wo tadi ... cuma sedikit pusing," ujar Wati memaksakan senyum.
"Syukurlah. Hmm ... gaun ini membuatku susah bergerak."
"Wo akan ke belakang sebentar. Tadi belum sempat sarapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaun Pengantin Gaib
HorrorGaun Pengantin Antik Blurb Anak sulung dari Tuan Prawiro, pengusaha ternama, diam-diam mencuri sebuah gaun kuno dari penyimpanan koleksi benda antik milik ayahnya. Dia sangat terpikat dengan gaun itu dan digunakannya untuk membuat foto prewedding. N...