Sejak terpergok Lyra, sehari yang lalu, antara pelayan sekaligus supir dan majikan seakan terbentang jarak. Mungkin mereka memang tidak dekat lagi; atau pura-pura bermusuhan, demi mengelabui Lyra.
Sarikun datang sore hari setelah pemakaman Diana. Wajahnya sedikit murung, seperti permukaan langit sore ini.
"Menurut Om, Ayuk Diana lagi ngapain sekarang? Orang yang udah meninggal, mungkinkah pulang ke rumah? Lihatlah ... langit sudah kembali mendung. Ayuk Diana pasti kedinginan di luar sana," racau Lyra, di teras rumah mereka.
Sarikun menarik napas dalam, lalu mengembusnya perlahan. Sementara Tuan Prawiro dan Mang Ridi, masihdl dengan kepura-puraan mereka; pura-pura tak mendengar.
"Diana sudah bahagia di alam sana. Kita yang hidup, harus banyak mendoakan."
"Lyra, Bik Wara, dan Mama selalu mendoakan Ayuk Diana. Berbeda dengan Mang Ridi, apalagi Papa," ketus Lyra.
Mang Ridi melirik Tuan Prawiro. Lelaki itu memberi isyarat mata; meminta orang yang duduk di sebelahnya menahan diri. Lyra masih sangat labil saat ini, susah untuk diberi penjelasaan.
"Lyra kangen Ayuk Diana, Om ...," lirihnya.
Sarikun bergeming. Dia sangat iba, tetapi apalah dayanya.
Bik Wara datang membawakan minuman. Tampak sebuah nampan besar beberapa gelas dan seteko air teh dengan uap yang masih menyembul dari mulut teko. Beberapa iris lemon terombang-ambing di dalam air, terlihat dari permukaan teko yang bening.
"Ayo, diminum dulu tehnya, mumpung masih anget," tawar Bik Wara.
Mang Ridi dengan sigap membantu wanita itu; menurunkan gelas, mengisinya, lalu menaruh di hadapan setiap orang yang duduk di teras rumah itu.
Tak lama, Nyonya Wiwik menghampiri, dengan koyok di setiap ujung pelipisnya.
"Mama cari Lyra, rupanya di sini," ujarnya.
"Iya, Ma. Lyra nungguin di sini. Siapa tahu Ayuk Diana pulang," ujarnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk.
Nyonya Wiwik mengurut dada, terasa perih di sana. Namun, dia akan kuat seperti biasanya. Kekecewaan, sedih, dan luka ini harus ditahan, sebab bila diumbar pun, Diana tak akan kembali.
"Beatrix ke mana, ya? Mama juga gak lihat dia," kata Nyonya Wiwik, kesempatan untuk mengalihkan pembicaraan.
Kening Sarikun mengerut. Dalam hatinya berbisik, Jangan sampai anak itu bikin ulah di sini.
"Bibi lihat Mbak Beatrix pergi pagi-pagi sekali, Nyonya. Bawa plastik besar warna hitam," terang Bik Wara.
Tuan Prawiro melirik Mang Ridi. Perlahan lelaki itu berdiri, lalu permisi. Kemudian pandangan Tuan Prawiro fokus menatap wajah Sarikun.
"Apa dia gak pamit sama kamu, Lyra?" tanya Nyonya Wiwik.
Lyra menggeleng. Sejujurnya, dia tak mau tahu, menolak peduli pada gadis itu. Seseorang yang berpikiran sangat absurd, bisa jadi kelakuannya pun begitu.
"Beatrix pergi ke rumah tantenya, di—," sahut Sarikun.
"Tante? Padahal selama ini Mbak Beatrix bilang gak punya saudara di Bengkulu, Om," sela Lyra.
"Ada, dia mungkin lupa saja. Rumah tantenya di daerah Hibrida. Dia pergi pagi tadi, naik ojek," sambung Sarikun.
Lyra memperhatikan jakun Sarikun yang naik-turun. Pandangannya juga tidak meyakinkan. Om Sarikun ikutan aneh, pikirnya.
"Sarikun benar. Saya juga lihat pagi tadi," bela Tuan Prawiro.
Sarikun menatap temannya dengan pandangan aneh. Entahlah, apa yang mereka berdua pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaun Pengantin Gaib
HorrorGaun Pengantin Antik Blurb Anak sulung dari Tuan Prawiro, pengusaha ternama, diam-diam mencuri sebuah gaun kuno dari penyimpanan koleksi benda antik milik ayahnya. Dia sangat terpikat dengan gaun itu dan digunakannya untuk membuat foto prewedding. N...