Dua

594 35 0
                                    

"Jangan mendekati air terjun, Pen!" larang Wati pada putranya.

Anak itu tampak mengangguk. Cukup beralasan bila ibunya khawatir. Air terjun itu setinggi 200 meter. Apalagi Pendi belum mahir berenang.

Wati mengambil jeda sejenak. Memperhatikan betapa memesonanya alam desa Lubuk Resm.

Gemiricik aliran air sedikit melonggarkan perasaan Wati yang baru kehilangan adiknya. Dia menghirup napas dalam dan membuangnya perlahan. Rasa sakit akan hilang seiring berjalannya waktu.

Wati duduk di pinggiran sungai. Dia harus segera mencuci pakaian, sebab akan pergi ke ladang. Kebun kopi harus diurus bila tidak mau bermasalah dengan kepala pribumi yang bertugas mengawasi langsung masyarakat.

Wati terkenang cerita almarhum ibunya. Betapa dulu di zaman Gubernur Inggris, tuan Raffles, kondisi tidak seburuk ini. Meskipun orang itu penjajah, tetapi dia cukup lunak pada pribumi. Semua menjadi berbeda setelah Belanda masuk ke Bengkulu tahun 1825.

Mulai tahun 1833, pemerintah kolonial Belanda mewajibkan setiap keluarga untuk menanam 300 pohon kopi. Memang tidak begitu berat dibandingkan sistem tanam paksa di Pulau Jawa, di mana setiap keluarga wajib menanam sebanyak 700 ranting lada dan 300 ranting lada bagi bujangan. Beruntungnya, sebelum dilaksanakan sistem yang disebut Cultuurstelsel ini, masyarakat Bengkulu sudah biasa menanam kopi. Resikonya, tanaman yang sudah ada, hasilnya disita oleh Belanda.

Penduduk tetap dipaksa menanam kopi dengan membuka hutan. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat memburuk. Masyarakat semakin tertindas.

Wati mendengkus. Pedih di dada, tetapi dia tak bisa mengubah keadaan. Suaminya menjadi jongos dengan harapan keadaan bisa sedikit longgar untuk keluarganya.

Pakaian dikeluarkan dari dalam bakul. Wati membasuh pakaian di air yang mengalir, setelah terlebih dahulu menggosoknya dengan batu. Pakaian mereka terbuat dari lantung; kulit pohon yang telah diproses hingga bisa membalut badan. Ada sehelai baju milik Awek yang terbuat dari katun, pemberian Tuan Mayor Pieter Ebony.

Usai mencuci, Wati menyelam ke dalam sungai. Dia pun menggosok badannya dengan batu. Pendi tampak sudah menepi. Anak kecil itu duduk mengangkang di atas batu seraya menggigiti jemarinya. Wati tersenyum melihat anak kesayangannya.

Beberapa menit kemudian, Wati membalut tubuhnya dengan kulit lantung kering. Memakaikan kain pula pada Pendi. Lalu, mereka berjalan kaki menuju ladang kopi.

Tapak kaki menyentuh tanah. Bila melihat ke belakang, jejaknya masih terlihat. Mak dan Anak ini menyusuri jalan setapak.

***

"Apa kau yang mengambil baju di dalam kinjar?" Awek menemui Wati di ladang kopi.

Wanita yang tengah membersihkan rumput itu berhenti sejenak dan menatap suaminya.

"Meskipun aku nih serik, nido aku kah maling (Meskipun aku ini miskin, aku tak akan mencuri)."

"Gaun Nona Ebony hilang," ujar Awek.

"Baguslah! Kita tak perlu repot menyimpan benda mengerikan itu."

"Hfft ...." Terdengar desahan napas Awek.

"Bagaimana kabar Tuan Jacobus?" tanya Wati mengalihkan perhatian. Dia tak mau tahu tentang gaun itu lagi.

"Sedikit lebih bengis dibanding Mayor Pieter."

"Oya?"

"Ya. Dan aku khawatir perlakuannya nanti akan mendapat perlawanan dari pribumi."

"Baguslah!"

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang