Empat

545 30 1
                                    

"Tuan ...."

Tepukan terasa kembali. Ini jelas berbeda. Tepukan kedua sedikit lebih kuat dari yang tadi, karena itu Tuan Prawiro berani menoleh.

"Tuan kenapa?"

Rupanya itu Mang Ridi. Lelaki yang telah mengabdi selama lima tahun di keluarga ini.

"Dak apo (Tak apa)."

"Saya lihat Tuan seperti ketakutan," kata Mang Ridi.

"Tak apa. Saya akan kembali ke kamar," ujar Tuan Prawiro permisi.

Tadi Mang Ridi terbangun karena mendengar suara berisik. Untuk memastikannya, dia keluar dari kamar. Ternyata suara berisik itu ditimbulkan oleh tuannya sendiri.  Mang Ridi mengecek dapur dan bagian belakang rumah sebelum kembali ke kamar.

Sementara itu, Tuan Prawiro merebahkan badan ke kasur. Diliriknya sang istri yang tertidur pulas. Kasihan Nyonya Wiwik. Dia tentu lelah setelah seharian sibuk mengurus bisnis kain di Pasar Minggu.

Tuan Prawiro menatap plafon yang dicat putih. Pikirannya berkelana memutar ingatan akan kejadian tadi.

Mungkinkah di rumahnya ada hantu? Sepertinya hantu itu perempuan Belanda. Namun, muncul dari mana? Ruang penyimpanan itu sudah dibuat sejak tahun 1989 dan selama sepuluh tahun belum pernah ada kejadian aneh seperti tadi.

Tuan Prawiro tersentak setelah ingatannya mengarah pada satu benda. Gaun pengantin! Pasti gaun itu yang membawa makhluk tersebut.

Tuan Prawiro melirik penunjuk jam di dinding. Masih pukul 02.30. Rasanya waktu berjalan sangat lambat. Lelaki ini berusaha tidur. Terdengar suara mendesis di luar kamar, dia tak mau peduli lagi.

***

Kota Bengkulu, tahun 2001

"Papa, Diana sama Beatrix mau jalan-jalan."

"Soal jalan-jalan itu gampang, yang penting sekarang kita pulang dan istirahat sejenak," ujar Tuan Prawiro. Dia senang sekali menyambut anak sulungnya yang baru tiba di bandara Fatmawati.

Tuan Prawiro sudah mengenal Beatrix. Ayahnya adalah teman Tuan Prawiro di masa kecil. Keluarga Beatrix asalnya juga dari kabupaten Seluma.

"Apa kabar Papamu, Beatrix?" sapa Tuan Prawiro.

Mang Ridi terlihat memasukkan koper ke dalam mobil. Mereka berbincang sambil berjalan.

"Papa sehat, Om. Sebenarnya Papa mau ikut, tapi lagi ada kerjaan. Kayaknya bakalan nyusul ke sini, Om. Katanya ada hal penting yang perlu dibicarakan."

Tuan Prawiro manggut-manggut. Keningnya sedikit mengkerut. Hal apa yang hendak dibicarakan Sarikun padanya?

Mobil bergerak dengan kecepatan sedang. Dari bandara Fatmawati ke kawasan Timur Indah tidak terlalu jauh. Kurang lebih ditempuh dengan waktu 30 menit.

"Selama kamu pulang ke sini, Lyra sama siapa di Jakarta?" tanya Tuan Prawiro.

Tuan Prawiro hanya punya dua anak; keduanya perempuan. Diana baru saja menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran di Trisakti, sedangkan Lyra baru semester tiga di fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, program studi Sejarah.

"Lyra itu kakinya panjang, Pa. Kalau Ada atau gak ada Diana di rumah, Lyra baik-baik aja. Papa tenang aja. Anak Papa yang itu fisiknya aja perempuan, jiwanya laki-laki. Hahaha!" Diana tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Apa dia sudah punya pacar?" tanya Tuan Prawiro lebih jauh.

"Kayaknya udah, deh. Soalnya, ke mana-mana dia ditemani Saraf, Pa."

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang