Sebelas

364 30 1
                                    

Bik Wara memberanikan diri mendorong pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Betapa terkejutnya dia melihat sosok yang duduk di lantai kamar mandi. Dari belakang, postur tubuhnya mirip Diana. Bik Wara memegangi dada, lalu berlari menjauh dari kamar itu.

Di dapur, Bik Wara masih terngiang pada sosok tadi. Bahkan pakaian yang dikenakannya sama dengan gaun yang membalut tubuh jenazah. Bagaimana mungkin?

Bik Wara menghela napas dengan kuat. Dia harus kembali fokus. Mang Ridi minta dibuatkan nasi goreng. Katanya kaum lelaki banyak yang kelaparan karena terlalu sibuk mencari Diana.

"Bik ...."

Spontan wanita yang tengah mengupas bawang itu terperanjat. Untung saja pisau tidak melukai jarinya.

"Bibik kenapa?" Beatrix heran melihat wanita tua itu.

"Gak pa-pa, Mbak. Bibik cuma terkejut," jawabnya pelan.

"Beatrix bantuin, ya."

"Gak usah, Mbak. Di depan aja, ngaji buat Mbak Diana," ujar Bik Wara.

"Beatrix di sini aja. Gak kuat lihatin Diana terus," balasnya.

Bik Wara menatap wajah gadis dengan tahi lalat di bibir itu. Kehilangan sahabat biasanya menjadi duka yang mendalam. Kenapa dia terlihat biasa saja?

Beatrix mengambil pisau dari tangan Bik Wara. Menggantikannya mengiris bawang. Sementara itu, Bik Wara memilih mengacau nasi dengan garam dan margarin sebelum digoreng dengan bumbu.

"Bik, apa mungkin Om Prawiro bersekutu dengan makhluk gaib? Jadi, Diana dijadikan tumbalnya."

Bik Wara membisu. Matanya menatap lekat Beatrix. Di saat seperti ini, apa maksud pertanyaan gadis itu?

"Diana selalu mengeluh tentang hantu yang terus menakutinya. Om Prawiro pun aneh, melarang setiap orang masuk ke ruang penyimpanan di sana. Apa mungkin—"

"Bibik yakin ini musibah, Mbak."

"Lalu kenapa Om Prawiro meminta maaf pada Lyra atas hilangnya Diana? Itu berarti Om Prawiro menyadari kesalahannya," imbuh Beatrix.

Bik Wara menatap semakin dalam pada wajah berbentuk bulan di hadapannya. Mengatur napas sebelum bicara.

"Kamu bukan bagian keluarga ini, Mbak. Jangan memberi pernyataan apa pun. Dugaanmu sudah pasti salah. Bibik sudah ikut keluarga ini sejak Diana kecil. Mustahil Tuan Prawiro mengorbankan putrinya sendiri. Prasangka macam apa yang keluar dari mulut seorang sahabat? Apalagi dia tak tampak sedih setelah kepergian sahabatnya?" ujar Bik Wara sengit.

"A-Aku cuma—"

"Lebih baik kamu pergi dari dapur, sebelum Bibik memukul wajah cantikmu  itu!" tegas Bik Wara.

Beatrix melenggang pergi. Dia tak peduli tanggapan wanita tua itu. Paling tidak, dia sudah menyatakan perasaannya.

***

Lyra tertidur sembari memegangi kaki jenazah Diana. Dia begitu lelah; fisik dan jiwa. Kakak tersayang kini telah tiada. Tak ada yang menduga berapa lama seseorang akan hidup.

Di dalam tidurnya, Lyra bermimpi bertemu Diana. Wajah kakaknya yang pucat itu murung.

"Ayuk, kenapa secepat ini pergi?" Lyra memeluk Diana dengan erat.

"Ayuk dibunuh, Lyra. Perempuan itu telah menjebak ayuk," beber Diana.

"Siapa dia? Perempuan mana?" desak Lyra.

"Kau harus berhati-hati, Lyra. Dia juga mengintaimu!" tandas Diana.

Lyra menyangsikan keseriusan Diana.

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang